kepalasekolah.id – Kumpulan cerita rakyat dunia dalam dua bahasa — Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris — ditulis dengan gaya ringan dan modern agar mudah dipahami anak-anak. Setiap kisah membawa pesan moral dan nilai kehidupan yang menginspirasi untuk berbuat baik, bersahabat, dan rendah hati. Temukan keseruan membaca sambil belajar dalam setiap edisi mingguan kami!
Daftar Isi
The Grateful Crane
Jepang
–Versi Bahasa Indonesia–
Pada suatu musim dingin di sebuah desa kecil di pegunungan Jepang, salju turun begitu tebal hingga pepohonan tampak seperti kapas putih. Di sana tinggal seorang pria miskin bernama Taro, yang hidup sendirian di gubuk kecil dari kayu bambu.
Meski hidup sederhana, Taro dikenal baik hati. Ia tidak pernah menolak menolong siapa pun, dan selalu membagi sedikit makanan yang ia punya kepada tetangga yang lebih membutuhkan.
Suatu sore yang dingin, saat Taro pulang dari mencari kayu bakar, ia mendengar suara lemah dari tepi jalan bersalju. Ia menoleh dan menemukan seekor bangau besar terjebak dalam perangkap pemburu. Sayap burung itu berdarah dan matanya memancarkan kesakitan.
“Oh, burung malang…” bisik Taro. “Kau pasti sangat menderita di tengah dingin seperti ini.”
Tanpa berpikir panjang, Taro melepaskan perangkap itu dan membalut luka sang bangau dengan kain dari bajunya sendiri. Burung itu menatapnya lama seolah berterima kasih, lalu mengepakkan sayap dan terbang ke langit yang berwarna oranye senja.
“Pergilah, dan semoga kau bisa terbang bebas lagi,” kata Taro sambil tersenyum.
Beberapa hari berlalu. Salju semakin tebal, dan persediaan makanan Taro hampir habis. Ia duduk di dekat tungku sambil memanaskan air ketika seseorang mengetuk pintunya.
Tok! Tok! Tok!
Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis muda berdiri di luar, mengenakan kimono putih dan wajahnya lembut seperti sinar bulan.
“Permisi, Tuan,” katanya sopan. “Aku tersesat di tengah badai. Bolehkah aku berteduh malam ini?”
Taro, meski terkejut, segera mengangguk.
“Tentu saja. Rumahku kecil, tapi kau bisa duduk di dekat perapian.”
Gadis itu tersenyum hangat. “Terima kasih. Kau sangat baik.”
Hari berganti hari, dan gadis itu tetap tinggal di rumah Taro. Ia membantu memasak, membersihkan rumah, dan membuat suasana jadi hidup. Suatu malam, ia berkata,
“Tuan Taro, aku ingin membuat kain tenun untukmu agar bisa dijual di pasar. Tapi, kau tidak boleh masuk atau mengintip ketika aku menenunnya. Janjilah padaku.”
Taro sedikit bingung, tapi ia setuju.
“Baiklah, aku janji tidak akan mengintip.”
Gadis itu lalu masuk ke kamar kecil dan menutup pintu. Selama tiga hari, suara tok-tok-tok alat tenun terdengar tanpa henti. Ketika ia keluar, wajahnya tampak lelah, tapi di tangannya ada selembar kain indah berkilau seperti cahaya salju di pagi hari.
“Jual kain ini di pasar,” katanya lembut, “dan kau akan mendapat cukup uang untuk melewati musim dingin.”
Taro menatap kain itu kagum. Ia menjualnya di pasar, dan benar saja — kain itu terjual sangat mahal. Mereka hidup nyaman beberapa waktu. Namun, setelah beberapa hari, gadis itu berkata lagi,
“Aku ingin menenun satu kain terakhir. Tapi ingat, jangan mengintip, apa pun yang terjadi.”
Kali ini, rasa penasaran Taro tak tertahankan. Ia menunggu hingga malam, lalu mengintip dari celah pintu. Di dalam kamar, tidak ada gadis manusia — hanya seekor bangau dengan bulu putih bersinar sedang menenun kain dengan paruh dan sayapnya.
Taro terkejut. Ia menutup mulutnya agar tidak berteriak, tapi lantai kayu berderit dan burung itu menoleh. Dalam sekejap, tenunannya berhenti.
Burung itu berubah kembali menjadi gadis berkimono putih, matanya lembut namun sedih.
“Tuan Taro… Aku adalah bangau yang pernah kau selamatkan. Aku datang untuk membalas kebaikanmu, tapi kini kau telah mengetahui wujud asliku.”
Air mata menetes di pipinya.
“Aku harus kembali ke langit. Terima kasih telah menolongku dan memberiku tempat berlindung.”
“Jangan pergi…” kata Taro dengan suara bergetar. “Aku tidak bermaksud melanggar janjiku.”
Gadis itu tersenyum sendu.
“Kau sudah memberiku kasih sayang manusia. Itu sudah cukup. Ingatlah, kebaikan yang tulus tidak selalu meminta balasan, tapi selalu meninggalkan keindahan di hati.”
Perlahan, ia membuka pintu dan berubah menjadi bangau bersayap putih. Ia mengepakkan sayapnya tinggi ke langit musim dingin, meninggalkan jejak bulu berkilau yang turun seperti salju.
Sejak saat itu, setiap kali salju turun dengan lembut di pegunungan, orang-orang di desa percaya bahwa itu adalah Bangau Putih yang kembali mengunjungi Taro — untuk mengingatkan bahwa kasih dan kebaikan tak pernah benar-benar hilang.
–English Version–
In a small mountain village of Japan, winter had covered everything in white. There lived a poor man named Taro, kind and gentle, who shared whatever little he had with others.
One freezing evening, while returning from gathering firewood, Taro found a crane trapped in a hunter’s snare. Its wing was bleeding, its eyes full of pain.
“Oh, you poor creature,” Taro whispered. “Hold still, I’ll help you.”
He freed the crane and wrapped its wound with his own cloth. The bird looked at him gratefully before flying away into the sunset.
Days later, as the snow thickened and Taro’s food grew scarce, a knock came at his door.
Tok! Tok! Tok!
A young woman in a white kimono stood outside.
“Please, sir,” she said softly. “I’ve lost my way in the storm. May I stay for the night?”
Taro welcomed her warmly. “Of course. My home is small, but you are safe here.”
The woman stayed. She cooked, cleaned, and filled the house with warmth. Then one night she said,
“Taro, I wish to weave a cloth for you to sell. But promise me — you must not look while I weave.”
He agreed. For three days, he heard the steady sound of the loom — tok-tok-tok — from behind the closed door. When she finally emerged, she looked pale but smiling, holding a shimmering cloth that glowed like morning snow.
“Sell this,” she said. “It will bring you enough for the winter.”
The cloth sold for a great price, and life became easier. Yet when she offered to weave once more, Taro’s curiosity overcame him. He peeked inside — and saw a white crane weaving the cloth with her beak and wings.
Startled, the floor creaked. The crane stopped and turned. Slowly, she changed back into the woman in white.
“Taro,” she said gently, “I am the crane you once saved. I came to repay your kindness, but now you know the truth.”
Tears shimmered in her eyes.
“I must return to the sky. Thank you for your compassion.”
“Please don’t go,” Taro pleaded. “I didn’t mean to break my promise.”
The woman smiled sadly.
“Your kindness has already blessed me. True love asks for nothing in return.”
She stepped outside and transformed into a white crane once more, soaring into the snowy sky. White feathers drifted down like falling snow — a sign that gratitude and love endure beyond sight.
From then on, whenever soft snow fell upon the mountains, the villagers said it was the Grateful Crane visiting Taro again, reminding the world that compassion never fades.
Pesan Moral & Motivasi
Kasih sayang yang tulus tidak mengharapkan balasan, tetapi selalu meninggalkan keindahan di hati dan dunia di sekitarnya.
(True compassion never seeks reward, yet it always leaves beauty in every heart it touches.)
