Belajar Mendalam Gaya Marie Curie Inspirasi Guru SD Membentuk Murid yang Haus Ilmu, Bukan Sekadar Nilai

Belajar Mendalam Gaya Marie Curie: Inspirasi Guru SD Membentuk Murid yang Haus Ilmu, Bukan Sekadar Nilai

kepalasekolah.id – Belajar Mendalam Gaya Marie Curie: Inspirasi Guru SD Membentuk Murid yang Haus Ilmu, Bukan Sekadar Nilai. Di tengah tuntutan nilai rapor, peringkat kelas, dan standar ujian yang semakin menekan, profesi guru sekolah dasar punya tantangan besar: bagaimana mendidik murid agar tidak sekadar pintar secara angka, tapi juga kaya rasa ingin tahu? Kisah belajar Marie Curie yang legendaris menjadi pengingat penting bahwa esensi belajar bukanlah sekadar hafal materi atau lulus ujian, melainkan memahami dunia dengan mendalam.

Marie Curie, sosok ilmuwan perempuan pertama yang meraih Nobel di dua bidang berbeda, tidak tumbuh dengan target nilai A. Ia belajar fisika dan kimia bukan karena kewajiban akademik, tetapi karena rasa penasaran yang tak pernah padam. Di usia di mana sebagian besar perempuan dilarang menempuh pendidikan tinggi, Curie berani menempuh jalur “universitas bawah tanah” di Polandia. Semangat inilah yang sepatutnya dihidupkan kembali oleh para guru sekolah dasar di Indonesia.

Di ruang kelas sekolah dasar, guru sering terjebak rutinitas: membagikan modul, memberi tugas, menilai hafalan. Sistem penilaian yang berfokus pada angka kadang memaksa guru menuntaskan kurikulum secepat mungkin. Akibatnya, anak-anak belajar hanya untuk lulus ulangan, tanpa sempat merenung atau bertanya lebih dalam. Padahal, di usia SD, benih rasa ingin tahu justru sedang subur-suburnya. Guru adalah kunci untuk menjaganya tetap hidup.

Marie Curie tidak belajar terburu-buru. Ia mengulang eksperimen berkali-kali, meski hasilnya kadang nihil. Sikap ini relevan dengan prinsip deep work yang diperkenalkan Cal Newport: proses belajar mendalam butuh waktu, keheningan, dan toleransi terhadap kebosanan. Guru sekolah dasar bisa menerapkannya dengan memberi ruang eksplorasi: jangan selalu mendikte jawaban. Beri siswa waktu untuk meraba, mencoba, bahkan salah.

Curie juga membiasakan diri menulis ulang teori dengan tangannya sendiri. Dalam dunia pedagogi modern, ini dikenal dengan retrieval practice, teknik belajar dengan menuliskan kembali pelajaran memakai bahasa sendiri. Guru bisa mendorong siswa SD melakukan hal serupa. Misalnya, setelah membaca cerita IPA, mintalah mereka menceritakan ulang dengan gambar, peta pikiran, atau karangan bebas. Aktivitas ini sederhana, tapi memperkuat ingatan lebih dalam ketimbang sekadar menyalin mentah-mentah.

Di era serba digital, belajar sering dipisahkan dari koneksi emosional. Nilai bagus dianggap cukup. Padahal, Marie Curie justru menautkan ilmunya dengan nilai hidup. Ia memandang radium bukan sekadar unsur kimia, tetapi penemuan yang berguna bagi kemanusiaan. Guru sekolah dasar bisa menanamkan ini sejak awal: jelaskan keterkaitan materi dengan kehidupan nyata. Ketika anak tahu kenapa harus belajar, mereka lebih antusias.

Hal lain yang sering terlupakan adalah pentingnya belajar dalam keheningan. Dalam biografi Marie Curie yang ditulis Susan Quinn, tercatat kebiasaan Curie belajar sendirian berjam-jam. Di sekolah, diskusi kelompok memang penting. Tapi guru juga perlu memberi waktu hening, di mana siswa diajak membaca atau menulis refleksi tanpa interupsi. Dari sinilah muncul kontemplasi: ruang di mana gagasan tumbuh liar.

Guru sekolah dasar juga berperan membimbing murid agar tidak menjadikan hasil akhir sebagai tujuan tunggal. Gagal memahami pelajaran bukanlah akhir. Justru, proses jatuh bangun belajar menumbuhkan mental tangguh. Carol Dweck lewat konsep growth mindset menekankan bahwa kegagalan adalah pupuk bagi kemajuan. Curie gagal berkali-kali dalam percobaan isolasi radium, tapi dari kegigihan itulah terbit penemuan besar.

Dalam kelas, guru bisa mencontohkan ini lewat evaluasi formatif. Alih-alih hanya memberi nilai mutlak, ajak siswa melihat proses: mana yang sudah benar, mana yang perlu diperbaiki. Dengan cara ini, kegagalan tak lagi menakutkan, melainkan jadi titik tolak belajar lebih baik.

Satu lagi hal mendasar: nikmati ketidaktahuan. Anak-anak SD punya segudang pertanyaan aneh, kadang melompat-lompat, kadang di luar buku pelajaran. Sayangnya, di ruang kelas yang serba terburu, pertanyaan semacam ini sering dipotong agar “sesuai jadwal.” Padahal, justru di situlah letak pendidikan sejati. Guru bisa meniru sikap Curie: sabar menggali jawaban, mengakui bahwa tidak semua pertanyaan harus terjawab saat itu juga.

Tentu, sistem pendidikan kita tidak bisa berubah hanya lewat satu dua guru. Tapi perubahan bisa dimulai dari ruang kelas kecil di SD mana pun. Ketika guru menempatkan rasa ingin tahu sebagai fondasi, murid pun akan tumbuh sebagai penjelajah ilmu, bukan sekadar pengejar nilai.

Kisah Marie Curie adalah pengingat bahwa belajar mendalam tidak butuh teknologi mutakhir atau fasilitas mewah. Cukup nyala lilin di tengah malam, buku lusuh, dan semangat tak pernah kenyang pada pengetahuan. Guru sekolah dasar adalah lilin-lilin kecil di zaman modern ini, menyalakan rasa ingin tahu murid, menjaga kobarnya agar tidak padam meski dikepung angka-angka ujian.

Jadi, sebelum menutup buku pelajaran hari ini, cobalah tanyakan pada murid: apa yang membuat mereka penasaran? Apa yang ingin mereka gali lebih dalam? Pertanyaan sederhana ini, mungkin lebih berharga daripada selembar nilai A di rapor. Dan di situlah, esensi belajar mendalam ala Marie Curie menemukan rumahnya di kelas-kelas sekolah dasar Indonesia.

Gaya belajar Marie Curie sebenarnya sangat relevan untuk guru sekolah dasar terapkan di kelas. Ia memberi teladan bagaimana belajar itu bukan hanya soal nilai, tapi soal rasa ingin tahu, kesabaran, dan ketekunan. Berikut poin-poin yang bisa kita ambil untuk praktik mengajar sehari-hari:

Belajar karena ingin tahu, bukan karena terpaksa
Marie Curie belajar fisika dan kimia saat banyak perempuan tidak boleh sekolah. Ia rela belajar di “universitas bawah tanah” di Polandia karena benar-benar ingin tahu, bukan karena dipaksa. Sebagai guru, kita bisa membantu anak-anak SD belajar dengan rasa penasaran, bukan hanya karena harus mengerjakan tugas.

Tidak perlu terburu-buru paham
Curie sering mengulang percobaan berkali-kali meskipun belum menemukan hasil. Ini mirip dengan konsep belajar mendalam yang membutuhkan kesabaran. Di kelas, guru bisa mengingatkan murid bahwa tidak apa-apa jika mereka belum langsung paham, asalkan mau mencoba lagi dengan tekun.

Menulis ulang dengan bahasa sendiri
Marie Curie suka menulis ulang teori dengan bahasanya sendiri, bukan sekadar menyalin mentah-mentah. Guru bisa mengajak murid untuk menceritakan ulang materi dengan kata-kata mereka sendiri, lewat cerita bergambar atau tulisan sederhana, agar mereka benar-benar memahami.

Belajar dengan hati lebih mudah diingat
Curie memandang ilmu bukan hanya sebagai pengetahuan, tetapi juga sebagai sesuatu yang punya nilai bagi banyak orang. Guru bisa mengajak murid mengaitkan pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari, agar lebih bermakna dan mudah diingat.

Belajar sendirian itu juga penting
Dalam biografinya, Curie sering belajar sendiri dalam keheningan untuk memahami lebih dalam. Di kelas, guru bisa memberi waktu anak-anak belajar secara mandiri dalam suasana tenang, misalnya saat membaca atau mengerjakan latihan, agar mereka bisa berpikir dengan lebih fokus.

Proses lebih penting daripada hasil akhir
Ketika Curie gagal dalam percobaannya, ia tidak menyerah karena ia tahu proses adalah bagian penting dari belajar. Guru dapat menekankan kepada anak-anak bahwa belajar bukan hanya tentang mendapatkan nilai bagus, tetapi tentang mau mencoba, mau gagal, dan mau bangkit kembali.

Nikmati ketidaktahuan
Marie Curie tidak takut pada pertanyaan yang belum ada jawabannya. Ia justru tertarik untuk mencari tahu. Guru dapat mengajarkan anak-anak bahwa tidak tahu bukanlah hal memalukan. Justru dari rasa ingin tahu itulah mereka akan terus belajar dan berani bertanya.

Scroll to Top