kepalasekolah.id – Potensi Risiko Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial. Teknologi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan saat ini. Terlebih dalam implementasi pembelajaran berbasis koding dan kecerdasan artifisial (KA), penggunaan teknologi seperti komputer, internet, dan perangkat lunak interaktif menjadi sarana utama untuk menjembatani proses belajar yang adaptif dan kontekstual. Namun, di balik potensi besar ini, terdapat pula sejumlah risiko yang patut dicermati. Artikel ini akan membahas secara mendalam potensi risiko tersebut serta langkah-langkah mitigasinya dari sisi guru, peserta didik, dan orang tua.
Daftar Isi
- 1 Teknologi: Antara Peluang dan Tantangan
- 2 Pembelajaran Koding dan KA: Ruang Interaksi Digital yang Intensif
- 3 Distraksi: Risiko Nyata yang Dihadapi Siswa
- 4 Peran Guru: Pengarah, Fasilitator, dan Pengawas
- 5 Etika Digital sebagai Capaian Pembelajaran
- 6 Peran Orang Tua: Pilar Pengawasan di Rumah
- 7 Keseimbangan: Kunci Penggunaan Teknologi yang Bijak
- 8 Kebijakan dan Regulasi yang Mendukung
- 9 Kesimpulan
Teknologi: Antara Peluang dan Tantangan
Penggunaan teknologi dalam pendidikan memang menyimpan peluang luar biasa. Studi-studi terdahulu telah menunjukkan bagaimana teknologi mampu memperluas akses belajar, memperkaya pengalaman belajar siswa, hingga meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Kanuka & Keland (2008) dan Passey & Higgins (2011), manfaat teknologi tidak datang begitu saja. Dalam banyak kasus, penggunaan teknologi tidak selalu berkorelasi positif dengan capaian akademik siswa.
Teknologi justru bisa menjadi bumerang jika tidak dimanfaatkan secara bijak. Cole & Hilliard (2006) dan Richards dkk. (2008) menyoroti efek distraktif dari internet sebagai sumber belajar. Akses tanpa batas terhadap informasi membuat siswa rentan terdistraksi oleh konten yang tidak relevan dengan kegiatan belajar, seperti media sosial, permainan daring, atau hiburan digital lainnya. Tantangan ini menjadi semakin kompleks saat pembelajaran mengharuskan keterhubungan konstan dengan internet, sebagaimana lazim dalam praktik pembelajaran koding dan KA.
Pembelajaran Koding dan KA: Ruang Interaksi Digital yang Intensif
Kegiatan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial merupakan bagian dari pendekatan teknologi tinggi (high-tech learning). Peserta didik dalam kegiatan ini tidak hanya berinteraksi dengan perangkat keras (seperti laptop atau tablet), namun juga dengan berbagai platform daring, software coding, serta basis data internet. Maka, pelaksanaan pembelajaran semacam ini mau tidak mau memperbesar intensitas keterlibatan siswa dengan teknologi digital.
Sayangnya, intensitas tersebut menyimpan potensi ancaman terselubung. Akses terbuka terhadap perangkat dan jaringan internet yang tak terbatas dapat menjadi celah munculnya perilaku menyimpang, penurunan fokus belajar, hingga penyalahgunaan teknologi. Misalnya, saat siswa diminta mengakses situs pembelajaran, mereka dapat dengan mudah berpindah ke situs lain yang tidak relevan, atau bahkan berbahaya. Masalah ini bukan sekadar teknis, tapi menyentuh aspek etika dan pengendalian diri.
Distraksi: Risiko Nyata yang Dihadapi Siswa
Distraksi adalah salah satu risiko paling nyata yang muncul dari penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Distraksi terjadi ketika perhatian siswa terpecah antara tujuan belajar dan berbagai stimulus digital yang hadir di perangkat mereka. Fenomena ini ditemukan secara signifikan di berbagai studi. Laporan UNESCO tahun 2023 menyebutkan bahwa di Singapura, kekhawatiran terkait distraksi digital menjadi sorotan utama dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis teknologi.
Dalam konteks Indonesia, distraksi juga muncul sebagai kekhawatiran guru saat menyusun Desain Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (DKT) untuk pengembangan pembelajaran koding dan KA. Banyak guru menyampaikan bahwa meskipun peserta didik terlihat antusias dengan teknologi, namun belum semua mampu menggunakannya secara disiplin. Keterbukaan akses terhadap internet sering kali memicu siswa untuk menjelajahi konten-konten di luar kebutuhan pembelajaran mereka.
Peran Guru: Pengarah, Fasilitator, dan Pengawas
Untuk mengantisipasi potensi risiko ini, peran guru tidak bisa dianggap remeh. Guru tidak hanya sebagai pengajar materi, tetapi juga menjadi pengarah, fasilitator, dan sekaligus pengawas penggunaan teknologi di ruang kelas. Dalam praktiknya, guru perlu menetapkan batasan dan kebijakan penggunaan perangkat digital, misalnya dengan menentukan waktu penggunaan, jenis situs yang boleh diakses, serta tujuan dari setiap aktivitas daring yang dilakukan.
Lebih lanjut, guru harus menanamkan nilai-nilai etika digital dalam pembelajaran. Ini termasuk pemahaman mengenai privasi data, tanggung jawab digital, serta kesadaran akan konsekuensi dari perilaku daring yang menyimpang. Dengan menanamkan nilai ini, peserta didik diharapkan mampu mengontrol diri mereka sendiri saat menggunakan teknologi, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar lingkungan sekolah.
Etika Digital sebagai Capaian Pembelajaran
Pentingnya etika digital sebagai bagian dari kompetensi abad 21 telah diakui secara global. Dalam kurikulum Australia, misalnya, pembelajaran kecerdasan artifisial mencakup pemahaman tentang etika, tanggung jawab sosial, dan dampak teknologi terhadap kehidupan manusia. Hal ini menjadi bagian dari capaian pembelajaran resmi, sebagaimana tercantum dalam situs v9.australiancurriculum.edu.au.
Pendekatan seperti ini layak ditiru dalam pengembangan kurikulum nasional di Indonesia. Dengan menjadikan pemahaman etika digital sebagai indikator capaian pembelajaran, guru dan siswa memiliki pedoman yang lebih jelas dalam menjalankan proses belajar yang berbasis teknologi. Langkah ini juga mampu memperkuat karakter siswa agar tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijak dalam berteknologi.
Peran Orang Tua: Pilar Pengawasan di Rumah
Tak hanya guru, orang tua juga memegang peranan penting, terutama bagi siswa sekolah dasar. Anak-anak usia SD berada dalam tahap perkembangan yang masih membutuhkan banyak pendampingan dan pengawasan, khususnya ketika mereka berada di rumah. Saat proses pembelajaran daring selesai, potensi distraksi dan penyalahgunaan teknologi masih tetap ada.
Orang tua harus memiliki pemahaman dasar mengenai cara kerja perangkat digital, aplikasi yang digunakan anak, dan jenis konten yang diakses. Mereka juga perlu menetapkan aturan penggunaan perangkat di rumah, seperti waktu layar maksimal, waktu istirahat dari layar, serta pembatasan aplikasi yang tidak relevan dengan pembelajaran. Komunikasi antara guru dan orang tua juga harus dibangun agar ada kesepahaman dalam pengawasan terhadap siswa.
Keseimbangan: Kunci Penggunaan Teknologi yang Bijak
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran harus diletakkan dalam kerangka keseimbangan. Teknologi hanyalah alat bantu, bukan tujuan akhir. Maka, penting bagi semua pihak – pendidik, peserta didik, orang tua, dan pembuat kebijakan – untuk memahami bahwa keberhasilan pembelajaran berbasis teknologi sangat bergantung pada bagaimana teknologi itu digunakan.
Keseimbangan bisa dicapai dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pedagogi dengan pendekatan digital. Misalnya, penggunaan teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan belajar, tidak asal digunakan demi kesan modern. Selain itu, keseimbangan juga menyangkut waktu penggunaan: siswa tidak boleh terlalu lama terpapar layar tanpa jeda, karena hal ini bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Kebijakan dan Regulasi yang Mendukung
Pemerintah dan lembaga pendidikan juga perlu merumuskan kebijakan penggunaan teknologi yang jelas dan komprehensif. Aturan ini mencakup standar keamanan siber, perlindungan data pribadi siswa, hingga etika penggunaan platform digital di lingkungan pendidikan. Dengan kebijakan yang terstruktur, pendidik dan peserta didik memiliki payung hukum yang melindungi dan mengarahkan mereka dalam menjalankan proses pembelajaran berbasis teknologi.
Implementasi kurikulum nasional yang adaptif terhadap teknologi juga menjadi langkah strategis. Kurikulum harus mampu mengakomodasi pembelajaran koding dan KA sekaligus menyisipkan pendidikan karakter dan literasi digital. Dengan begitu, siswa tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga nilai moral yang kuat untuk menghadapinya.
Kesimpulan
Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial menghadirkan potensi besar sekaligus tantangan nyata. Risiko seperti distraksi, penyalahgunaan akses internet, dan minimnya etika digital menjadi perhatian yang serius. Untuk mengatasinya, peran guru sebagai fasilitator dan pengarah menjadi sangat penting, begitu pula dukungan orang tua sebagai pengawas di rumah. Pendidikan etika digital harus ditanamkan sejak dini, sementara kebijakan nasional dan kurikulum pendidikan perlu memberikan ruang yang aman, terarah, dan bermakna bagi integrasi teknologi dalam pembelajaran.
Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, teknologi dapat menjadi alat transformatif dalam pendidikan tanpa mengorbankan aspek-aspek penting lain seperti fokus belajar, kesehatan mental, dan nilai moral peserta didik. Maka, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk terus memperbarui strategi dan praktik guna memastikan pemanfaatan teknologi membawa dampak positif yang berkelanjutan.