Tantangan Compliance dalam Implementasi Kebijakan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah

Tantangan Compliance dalam Implementasi Kebijakan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah

kepalasekolah.id –  Tantangan Compliance dalam Implementasi Kebijakan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Sekolah. Kebijakan pendidikan selalu membawa misi transformasi. Salah satu transformasi yang tengah diarusutamakan dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini adalah pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA) di sekolah. Meski langkah ini menjadi bagian dari strategi modernisasi pendidikan, implementasinya menghadapi tantangan yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam bentuk compliance atau kepatuhan administratif yang berlebihan.

Dalam konteks ini, kebijakan pembelajaran koding dan KA menjadi studi kasus yang merefleksikan pola respons yang sudah berulang: adanya antusiasme semu dari pemerintah daerah (pemda) dan sekolah yang tidak selalu diiringi oleh kesiapan nyata dan dukungan konkret. Kecenderungan ini menciptakan risiko besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan.

Respons Pemda dan Sekolah: Antara Antusiasme dan Realita

Salah satu ciri khas implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia adalah adanya respons cepat dari pemangku kebijakan di daerah dan sekolah-sekolah. Respons ini kerap muncul dalam bentuk instruksi, pelaporan progres implementasi, serta pendaftaran masif pada program-program dari pusat. Dalam konteks pembelajaran koding dan KA, antusiasme seperti ini bisa menjadi modal awal yang kuat, namun juga menyimpan potensi risiko besar jika tidak dikawal dengan perencanaan dan dukungan yang matang.

Belajar dari pengalaman implementasi Kurikulum Merdeka pada 2022, antusiasme pemda yang tidak disertai pemahaman dan dukungan menyeluruh justru menjadi jebakan. Saat itu, banyak sekolah didorong untuk segera mendaftar dan menerapkan kurikulum baru tanpa pertimbangan kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, maupun pelatihan. Akibatnya, proses pendampingan terhadap sekolah berjalan tidak optimal dan menyebabkan sebagian besar sekolah hanya mampu menerapkan kurikulum dengan kualitas rendah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kepatuhan administratif atau compliance semata tidak cukup untuk memastikan keberhasilan suatu kebijakan pendidikan. Implementasi yang berhasil justru menuntut fleksibilitas, dukungan teknis, pelatihan, serta mekanisme evaluasi yang adaptif.

Belajar dari Kurikulum Merdeka: Jebakan Kepatuhan dan Minimnya Dukungan

Data dari Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) tahun 2024 mengungkapkan fakta mengejutkan: hanya 34% sekolah yang mampu menerapkan pembelajaran dan asesmen dalam Kurikulum Merdeka dengan kategori “baik” dan “sangat baik.” Artinya, lebih dari 60% sekolah masih bergelut dalam proses adaptasi yang belum matang. Hal ini tidak hanya menandai kegagalan pada level teknis, tetapi juga mencerminkan kekeliruan dalam cara memahami dan menindaklanjuti kebijakan dari pusat.

Kondisi tersebut bisa terjadi kembali dalam implementasi kebijakan pembelajaran koding dan KA jika tidak ada perubahan pola pikir. Dukungan dari pemda dan sekolah memang sangat penting, tetapi harus dibangun atas dasar pemahaman yang menyeluruh. Keterlibatan tidak boleh hanya sekadar “ikut serta” atau “menjalankan perintah,” tetapi harus berbasis pada analisis kebutuhan, kesiapan sumber daya, serta strategi pengembangan jangka panjang.

Bahaya Persepsi Kebijakan Sebagai Kewajiban Mutlak

Ketika kebijakan pendidikan dipersepsikan sebagai sesuatu yang wajib dilakukan tanpa ada ruang untuk penyesuaian dan refleksi lokal, maka yang terjadi adalah pelaksanaan formalitas. Pemda sering kali menjadi aktor yang menginstruksikan sekolah untuk mengikuti program tertentu, tanpa memperhatikan konteks yang ada. Sekolah pun hanya menjalankan perintah karena merasa memiliki tanggung jawab untuk mematuhi kebijakan pusat.

Dalam konteks pembelajaran koding dan KA, hal ini bisa berdampak sangat serius. Materi koding dan KA memerlukan kesiapan khusus: guru yang terlatih, infrastruktur digital, jaringan internet, dan perangkat keras yang memadai. Jika semua ini tidak tersedia, tetapi sekolah tetap dipaksa mengikuti program, maka hasilnya hanya akan menjadi beban tambahan bagi guru dan peserta didik.

Dampak Buruk Compliance Tanpa Dukungan

Kepatuhan yang tidak disertai dengan dukungan konkret dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif yang nyata, antara lain:

  1. Guru Terbebani

    • Guru dituntut mengajar materi yang belum dikuasai.

    • Tidak tersedia pelatihan atau bahan ajar pendukung.

    • Beban kerja meningkat tanpa kompensasi yang jelas.

  2. Peserta Didik Bingung

    • Materi koding dan KA membutuhkan pengantar yang bertahap.

    • Tanpa pendekatan yang kontekstual, siswa akan kesulitan memahami konsep dasar.

  3. Output Pendidikan Tidak Optimal

    • Sekolah hanya menjalankan program tanpa kualitas.

    • Tidak ada peningkatan kompetensi digital secara riil.

  4. Sumber Daya Terbuang

    • Dana, waktu, dan tenaga habis hanya untuk menjalankan kebijakan tanpa dampak jangka panjang.

Perlu Dukungan Nyata dan Mekanisme Fleksibel

Pembelajaran koding dan KA tidak bisa disamakan dengan program reguler. Diperlukan pendekatan yang lebih strategis, yaitu:

  • Pemetaan Kesiapan Sekolah
    Setiap daerah dan sekolah memiliki tingkat kesiapan yang berbeda. Oleh karena itu, sebelum mengimplementasikan kebijakan ini secara nasional, perlu dilakukan pemetaan terhadap infrastruktur, tenaga pendidik, dan akses teknologi.

  • Fasilitasi dan Pendampingan Berjenjang
    Pemerintah daerah harus membentuk tim fasilitator yang bertugas melakukan pendampingan teknis, baik dalam aspek kurikulum maupun metodologi pembelajaran.

  • Pelatihan Guru Berbasis Kompetensi Digital
    Guru harus diberikan pelatihan yang berorientasi praktik langsung. Misalnya: pengenalan bahasa pemrograman dasar, pemanfaatan platform AI sederhana, dan integrasi teknologi dalam pembelajaran tematik.

  • Fleksibilitas Implementasi
    Kebijakan ini harus bisa dijalankan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah. Tidak semua sekolah bisa menerapkannya pada waktu yang sama.

Dukungan Berkelanjutan dari Pusat ke Daerah

Pemerintah pusat tetap memiliki peran strategis untuk memastikan keberlanjutan program ini. Beberapa langkah yang perlu dilakukan:

  • Menyusun pedoman implementasi yang jelas, sederhana, dan dapat disesuaikan.

  • Menyediakan platform digital sebagai wadah berbagi praktik baik, bahan ajar, dan pelatihan online.

  • Menyediakan anggaran khusus untuk pengembangan teknologi pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum siap.

  • Melakukan evaluasi rutin terhadap sekolah yang telah menjalankan kebijakan, tidak hanya berdasarkan jumlah, tetapi juga kualitas pelaksanaan.

Menjaga Keseimbangan antara Arahan dan Inisiatif Lokal

Sebagai kesimpulan, kebijakan pembelajaran koding dan KA adalah terobosan besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Namun, implementasinya tidak boleh terjebak dalam pola lama: compliance tanpa dukungan. Pemerintah pusat harus memberi arahan yang tegas, tetapi sekaligus membuka ruang dialog dan fleksibilitas bagi pemda dan sekolah.

Pemda harus memainkan peran sebagai fasilitator, bukan hanya eksekutor. Sekolah pun perlu diberi ruang untuk mengevaluasi, merencanakan, dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan kapasitasnya. Tanpa kesadaran ini, kita hanya akan mengulang kesalahan masa lalu: pelaksanaan kebijakan yang terlihat aktif di atas kertas, tetapi kosong dalam praktiknya.

Penutup

Kebijakan besar seperti pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial tidak cukup hanya dengan semangat pelaksanaan. Butuh kesiapan sistemik, dukungan menyeluruh, dan kesadaran bahwa setiap sekolah memiliki kondisi unik. Dengan menghindari jebakan compliance dan mengedepankan pendekatan kolaboratif serta suportif, Indonesia dapat benar-benar melangkah menuju sistem pendidikan yang adaptif, transformatif, dan berdaya saing di era digital.

Scroll to Top