Ebook 1095 hari menjadi Kepala Sekolah

Hari-Hari Pertama: Ketika Semua Orang Memperhatikan Kita

Hari pertama menjadi kepala sekolah selalu terasa aneh. Rasanya seperti masuk ke rumah baru, tapi semua orang di dalam rumah itu sudah lebih dulu mengenal satu sama lain. Kita datang membawa kunci, tetapi tidak membawa cerita apa pun. Dan dalam diam, setiap orang mencoba menebak seperti apa sebenarnya diri kita.

Di pagi itu, begitu saya melangkah melewati gerbang, saya merasakan tatapan-tatapan kecil dari beberapa guru. Bukan tatapan sinis, bukan juga tatapan kagum—lebih seperti tatapan penasaran. Tatapan yang bertanya: “Kepala sekolah baru ini orangnya bagaimana ya?”

Guru senior biasanya paling cepat membaca situasi. Mereka tak selalu banyak bicara, tetapi peka pada tanda-tanda kecil: cara kita berjalan, bagaimana kita menyapa, apakah kita menempatkan diri terlalu tinggi atau justru terlalu rendah. Dari awal, mereka sedang mengamati, “Apakah kepemimpinan beliau akan memberatkan kami, atau justru membuat kami lebih nyaman?”

Guru muda berbeda lagi. Mereka cenderung lebih ekspresif, tetapi hati-hati. Mereka ingin inovasi, ingin didukung, ingin ruang gerak. Namun mereka juga takut terlihat terlalu menonjol di depan kepala sekolah yang belum mereka kenal. Mereka menunggu—apakah kepala sekolah baru ini tipe yang terbuka atau tipe yang suka mengatur tanpa diskusi.

Sedangkan karyawan tata usaha dan penjaga sekolah memiliki radar sosial yang paling halus. Mereka tahu mana kepala sekolah yang mudah diajak bicara, dan mana yang hanya berkata manis di awal tetapi tegasnya muncul belakangan. Mereka bisa membaca dari cara kita menanggapi permintaan kecil, seperti berkas yang harus ditandatangani atau laporan keuangan yang harus dicek. Dan saya? Di hari pertama itu, saya hanya bisa berkata dalam hati: “Baiklah, semua orang sedang membaca saya. Maka saya pun harus belajar membaca mereka.”

Tidak Perlu Terburu-Buru Menjadi Sempurna

Kesalahan terbesar kepala sekolah baru—dan saya pernah hampir jatuh ke dalamnya—adalah ingin terlihat sempurna sejak hari pertama. Ingin menunjukkan bahwa kita tegas, profesional, dan memiliki banyak program. Padahal, guru tidak membutuhkan itu di awal. Yang guru butuhkan di awal adalah Kepala sekolah yang bisa diajak bicara. Pemimpin yang tidak menghakimi guru dari hari pertama. Sosok yang datang untuk memahami, bukan untuk mengubah secara drastis. Orang yang membawa ketenangan, bukan tekanan baru.

Di awal masa tugas, saya sempat berencana menyusun program cepat 100 hari. Kedengarannya keren, seperti manajer profesional. Tapi semakin saya melihat situasi sekolah, semakin saya sadar: program tidak akan berjalan jika hati guru belum terbuka. Akhirnya saya membatalkan rencana 100 hari itu, dan menggantinya dengan rencana yang lebih sederhana dan manusiawi: “30 Hari Mengamati.”

Saya mendengarkan cerita guru, melihat bagaimana mereka bekerja, memperhatikan kebiasaan sekolah, dan mencatat pola-pola yang sebelumnya tidak saya mengerti. Saya datang bukan sebagai pembaharu, tetapi sebagai tamu yang mencoba memahami rumah barunya. Itulah salah satu keputusan terbaik dalam 1095 hari saya sebagai kepala sekolah.

Hari-Hari yang Terasa Seperti Tes yang Tidak Anda Siapkan

Hari-hari pertama selalu penuh kejutan. Ada guru yang langsung mendekat dan bercerita panjang soal sekolah—kadang terlalu panjang. Ada guru yang tampak menjaga jarak. Ada juga yang sejak awal memberi sinyal: “Saya sudah lama di sini, jadi tolong jangan banyak diubah dulu ya, Pak/Bu.” Di titik itulah seni bersikap sangat dibutuhkan.

Ada kalanya kita harus banyak tersenyum, walau sedang bingung. Ada kalanya kita harus tegas dengan lembut, agar tidak disalahartikan sebagai pemimpin yang tidak punya arah. Ada kalanya kita hanya perlu mendengarkan tanpa memberi komentar apa pun.

Satu hal yang saya pelajari di hari-hari awal, guru bukan ingin tahu visi Anda. Mereka ingin tahu apakah Anda aman. Aman untuk diajak bicara, Aman untuk berpendapat, Aman untuk tidak selalu setuju, Aman untuk bekerja dengan nyaman, Begitu mereka merasa aman, wibawa kita justru terbentuk dengan sendirinya.

Seni Menyapa Tanpa Berlebihan

Jangan remehkan kekuatan sapaan. Cara kita menyapa menentukan suasana hati banyak orang. Tetapi menyapa juga seni: ramah tanpa dibuat-buat, sopan tanpa berlebihan. Di hari-hari pertama, saya mencoba menyapa semua guru yang saya temui. Tetapi saya tidak berusaha menghafal nama secara terburu-buru. Saya hanya berusaha menciptakan suasana: bahwa kepala sekolah baru ini tidak menutup diri.

Ada yang membalas sapaan dengan hangat.  Ada yang membalas dengan senyum kecil. Ada juga yang hanya mengangguk pelan. Semua reaksi itu normal. Tidak perlu diambil hati. Kepala sekolah harus belajar untuk tidak mudah baper—karena kalau kita baper, kita akan terbebani oleh hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu.

Bagaimana Menghadapi “Guru Tes Mental”

Di banyak sekolah, selalu ada satu atau dua guru yang suka menguji kepala sekolah baru. Tidak dengan cara terang-terangan, tetapi lewat sikap kecil Terlambat masuk rapat., Tidak mengumpulkan laporan tepat waktu., Berkomentar bernada “kami sudah pengalaman kok”., Malas senyum atau malas bicara. Mereka ingin tahu apakah kepala sekolah baru bisa menghadapi tekanan kecil. Di awal masa tugas, saya pernah menghadapi guru seperti itu. Dia tidak kasar, tidak melawan, tapi gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia ingin melihat apakah saya tipe pemimpin yang lembek atau tidak.

Cara saya menghadapi? Bukan dimarahi, bukan ditegur keras—karena itu hanya memperkuat benteng mereka. Saya pilih cara yang tenang: saya tetap bersikap profesional, tapi saya perjelas standar sekolah lewat contoh dan aturan yang saya jalankan sendiri. Hasilnya, dalam beberapa minggu, guru tersebut justru mulai mendekat dan bertanya kebutuhan sekolah. Kadang orang yang “ngetes” kita justru hanya ingin tahu apakah kita layak dipatuhi.

Scroll to Top