Kumpulan cerita rakyat dunia (2)

Kumpulan Cerita Rakyat Dunia Edisi #9

kepalasekolah.id – Kumpulan cerita rakyat dunia dalam dua bahasa — Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris — ditulis dengan gaya ringan dan modern agar mudah dipahami anak-anak. Setiap kisah membawa pesan moral dan nilai kehidupan yang menginspirasi untuk berbuat baik, bersahabat, dan rendah hati. Temukan keseruan membaca sambil belajar dalam setiap edisi mingguan kami!

The Prodigal Son

Timur Tengah

–Versi Bahasa Indonesia–

Di sebuah desa yang makmur di tanah Timur Tengah, hiduplah seorang ayah dengan dua anak laki-lakinya, Eliam dan Jonas. Ayah mereka adalah seorang petani kaya yang dermawan, dihormati banyak orang karena kebijaksanaannya.

Eliam, anak sulungnya, rajin dan sabar membantu ayahnya mengurus ladang. Sementara Jonas, si bungsu, adalah anak yang cerdas namun hatinya gelisah. Ia sering memandangi langit sore dan berbisik,

“Hidup di sini membosankan… aku ingin pergi dan mencari kebahagiaan di luar sana.”

Suatu hari, Jonas datang kepada ayahnya.

“Ayah, berikanlah padaku bagian warisan yang menjadi hakku. Aku ingin pergi dan hidup dengan caraku sendiri.”

Ayahnya terdiam lama. Matanya teduh, tapi dalam sorot itu ada kesedihan. Meski berat hati, ia menghormati keinginan anaknya. Ia membagi harta miliknya, menyerahkan bagian Jonas dengan tangan gemetar.

“Pergilah, anakku. Tapi ingat, ke mana pun kau melangkah, rumah ini selalu terbuka untukmu.”

Jonas berangkat ke kota dengan hati berbunga-bunga. Di sana, ia hidup mewah, berpesta, dan dikelilingi banyak teman. Namun semua itu semu. Tak butuh waktu lama sebelum uangnya habis. Saat kemiskinan datang, teman-temannya pergi satu per satu. Ia pun harus bekerja sebagai penggembala babi—pekerjaan paling hina di negeri itu.

Suatu malam, Jonas duduk di pinggir ladang, lapar dan kedinginan. Ia menatap bintang-bintang, teringat wajah ayahnya.

“Para pekerja ayahku saja makan kenyang… sementara aku kelaparan di sini. Aku telah berdosa… aku harus pulang.”

Dengan langkah lemah, Jonas memutuskan kembali. Sepanjang perjalanan, hatinya penuh ketakutan.

“Apakah Ayah akan memaafkanku? Aku telah menyia-nyiakan segalanya…”

Sementara itu, sang ayah setiap hari menatap jalan di depan rumahnya, berharap melihat putranya kembali. Pada suatu pagi, ia melihat sosok berjalan terpincang dari kejauhan. Meski wajahnya kusam dan bajunya lusuh, sang ayah mengenalinya.
Tanpa ragu, ia berlari.

“Jonas… anakku!”

Jonas tersungkur di tanah, menangis.

“Ayah… aku telah berdosa terhadap langit dan terhadap Ayah. Aku tidak layak lagi disebut anakmu.”

Sang ayah memeluknya erat. “Cukup, Nak. Kau kembali, itu sudah lebih dari cukup.”

Ia memerintahkan para pelayan,

“Ambilkan pakaian terbaik, cincin, dan sandalnya! Sembelih anak sapi gemuk. Kita rayakan hari ini—anakku yang hilang telah kembali!”

Eliam, si sulung, yang baru pulang dari ladang, mendengar musik dan tawa dari rumah. Ia bertanya,

“Ada apa ini?”

“Saudaramu kembali, Tuan,” jawab seorang pelayan. “Ayahmu sangat bahagia.”

Namun Eliam merasa hatinya panas. Ia menolak masuk. Sang ayah datang menemuinya.

“Anakku, mengapa kau marah?”

Eliam berkata kesal, “Aku selalu setia bekerja untukmu, tapi belum pernah kau rayakan diriku. Sedangkan dia—yang meninggalkanmu—kau sambut dengan pesta!”

Ayahnya menatap lembut. “Eliam, kau selalu bersamaku, dan semua milikku adalah milikmu. Tapi saudaramu ini… dia sempat hilang, dan kini telah kembali. Tidakkah kau ikut bersukacita?”

Eliam terdiam lama, lalu menunduk. Ia menatap dari jauh adiknya yang sedang makan sambil tersenyum malu-malu. Dalam hatinya, perlahan muncul rasa haru. Ia melangkah masuk dan duduk di sebelah Jonas.

Jonas menatapnya dengan mata berkaca, “Maafkan aku, Kak.”
Eliam mengangguk, menepuk bahu adiknya. “Kita mulai lagi dari awal, ya.”

Dan malam itu, rumah mereka dipenuhi cahaya lilin, tawa, dan air mata haru. Di bawah langit penuh bintang, sang ayah menatap kedua anaknya dan berbisik pelan,

“Tak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada melihat cinta dan maaf kembali tumbuh di hati anak-anakku.”

–English Version–

The Prodigal Son

Middle East

In a peaceful village in the Middle East, there once lived a kind father with two sons, Eliam and Jonas. The elder, Eliam, was hardworking and patient. The younger, Jonas, was smart but restless.

“Life here is too quiet,” Jonas often said. “I want to see the world and live freely.”

One day, he asked his father,

“Father, please give me my share of the inheritance. I want to live on my own.”

The father looked at him sadly, yet he agreed. He divided his wealth and gave Jonas his share.

“Go, my son. But remember—this home will always welcome you back.”

Jonas left happily for the city. He spent money recklessly, surrounded by friends and luxury. But when his money was gone, so were his friends. Soon he had nothing left and worked as a pig herder just to survive.

One night, starving and alone, Jonas looked at the stars and whispered,

“Even my father’s servants live better than me. I must go home… and ask for forgiveness.”

Back home, his father waited every day, hoping his son would return. One morning, he saw a figure limping from afar. His heart knew—it was Jonas!

“My son!” the father cried, running to him.

Jonas fell to his knees.

“Father, I have sinned against heaven and against you. I’m no longer worthy to be called your son.”

The father hugged him tightly. “Hush, my child. You are home—that’s all that matters.”

He called to the servants,

“Bring the best robe, a ring, and sandals! Prepare a feast! My son who was lost has been found!”

When Eliam heard the music, he was upset.

“I’ve worked for Father all these years, yet he never threw a feast for me,” he complained.

The father approached him.

“Eliam, all I have is yours. But your brother was lost and now he’s found—shouldn’t we celebrate?”

Eliam paused, then looked at Jonas, who sat shyly at the table. Slowly, he smiled and joined him.

“Brother,” said Jonas, “I’m sorry.”

“Welcome home,” said Eliam softly.

That night, laughter and music filled the house once more. Under the stars, the father whispered,

“Nothing brings greater joy than forgiveness that heals the heart.”

Pesan Moral dan Motivasi

Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada hati yang mampu memaafkan. Karena memaafkan bukan hanya membebaskan orang lain, tetapi juga membebaskan diri sendiri.
(There is no greater joy than a heart that forgives. Forgiveness not only frees others—it also frees ourselves.)

Scroll to Top