kepalasekolah.id – Kumpulan cerita rakyat Nusantara dalam dua bahasa — Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris — ditulis dengan gaya ringan dan modern agar mudah dipahami anak-anak. Setiap kisah membawa pesan moral dan nilai kehidupan yang menginspirasi untuk berbuat baik, bersahabat, dan rendah hati. Temukan keseruan membaca sambil belajar dalam setiap edisi mingguan kami!
Daftar Isi
Legenda Batu Menangis
Kalimantan
–Versi Bahasa Indonesia–
Di sebuah lembah yang dikelilingi bukit hijau di Kalimantan, hiduplah seorang janda miskin bersama putri semata wayangnya bernama Darmi. Sang ibu bekerja keras setiap hari, menjual hasil kebun dan mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Meski hidup sederhana, ia selalu tersenyum karena memiliki anak yang cantik dan cerdas.
Namun, semakin Darmi tumbuh besar, sifatnya berubah. Ia mulai merasa malu dengan keadaan ibunya yang miskin dan berpenampilan sederhana.
“Ibu, mengapa Ibu tidak seperti orang tua teman-temanku? Mereka berpakaian bagus dan naik kuda ke pasar!”
Sang ibu tersenyum lembut, “Nak, kekayaan bukan di pakaian, tapi di hati yang sabar dan jujur.”
Suatu hari, mereka pergi ke pasar bersama. Darmi mengenakan kain terbaik yang dimilikinya, sementara ibunya tetap berpakaian lusuh. Di tengah perjalanan, beberapa pemuda melewati mereka dan menatap kagum pada Darmi.
“Lihat, gadis itu cantik sekali! Siapa ibunya?” tanya seorang pemuda.
Darmi panik dan menjawab tergesa, “Oh, dia bukan ibuku… dia hanya pembantuku.”
Sang ibu terdiam. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap melanjutkan langkah. Ia tidak menegur, tidak memarahi, hanya memandangi anaknya dengan tatapan sedih. Setelah sampai di pasar, Darmi sibuk berbincang dengan teman-temannya, sementara ibunya menunggu di kejauhan dengan seikat kayu di tangan.
Ketika mereka pulang, hujan turun sangat deras. Darmi berlari mendahului ibunya. Jalanan licin, dan sang ibu terpeleset. Darmi menoleh sebentar, tapi tidak kembali menolong. Ia takut bajunya kotor.
Namun, di tengah hujan itu, terdengar suara guntur yang menggelegar. Langit gelap, dan tanah bergetar pelan. Darmi tiba-tiba merasa tubuhnya berat. Ia menatap tangannya—perlahan berubah menjadi batu.
“Ibu! Tolong aku! Aku tidak mau jadi batu!”
Sang ibu berlari, menembus hujan, memeluk anaknya yang setengah menjadi batu.
“Ibu maafkan aku… aku telah berbohong… aku malu mengakuimu…” tangis Darmi.
Air mata sang ibu menetes di pipi batu itu. “Aku sudah memaafkanmu, Nak. Sejak pertama kali kau menyakitiku, Ibu sudah memaafkan. Semoga Tuhan juga mengampunimu.”
Tubuh Darmi pun membatu sepenuhnya. Sang ibu menunduk di hadapan batu itu, menangis dalam diam. Dari air matanya yang jatuh ke tanah, tumbuh bunga-bunga kecil berwarna putih — tanda kasih yang tak pernah padam.
Bertahun-tahun kemudian, orang-orang masih melihat batu itu di tepi lembah. Mereka menyebutnya Batu Menangis, karena di saat hujan turun, air tampak mengalir dari celah batu itu seperti air mata.
Konon, setiap kali seseorang merasa menyesal, mereka datang ke sana dan berdoa agar hatinya dilembutkan seperti kasih seorang ibu. Dan dari generasi ke generasi, legenda itu terus hidup, mengajarkan bahwa meminta maaf dan memaafkan adalah dua hal yang sama mulianya.
–English Version–
The Legend of the Weeping Stone
Kalimantan
In a peaceful valley surrounded by green hills in Kalimantan, there once lived a poor widow and her only daughter, Darmi. Every day, the mother worked hard—selling fruits from her small garden and gathering firewood to sell in the market. Though poor, she was always cheerful because she had a daughter who was beautiful and clever.
But as Darmi grew older, her heart changed. She began to feel ashamed of her mother’s humble appearance.
“Mother, why aren’t you like my friends’ parents? They wear fine clothes and ride horses to the market!”
The mother smiled gently. “My dear, true wealth lies not in clothes, but in a heart that is patient and honest.”
One day, they went to the market together. Darmi wore her best dress, while her mother wore her usual old clothes. Along the way, some young men passed by and looked at Darmi in admiration.
“Look at that girl! She’s so beautiful. Who’s the old woman with her?”
Darmi panicked and replied quickly, “Oh, she’s not my mother… she’s just my servant.”
The mother said nothing. Her eyes glistened with tears, but she kept walking silently.
When the rain poured heavily as they returned home, Darmi ran ahead. Her mother slipped on the muddy road, but Darmi didn’t help—she was afraid her clothes would get dirty.
Suddenly, thunder roared and the ground trembled. Darmi’s body felt heavier and heavier. She looked down at her hands—turning to stone.
“Mother! Help me! I don’t want to turn into stone!”
Her mother ran through the rain and embraced her.
“I’m sorry, Mother… I lied… I was ashamed of you…” sobbed Darmi.
The mother wept. “I forgave you long ago, my child. Even when you hurt me, I never stopped loving you. May God forgive you too.”
Her daughter’s body turned completely into stone. The mother knelt beside it, crying softly. From her tears grew small white flowers—symbols of her endless love.
Years passed, and people still saw the stone standing in the valley. Whenever rain fell, water trickled from its cracks—like tears. They called it The Weeping Stone.
And so, from generation to generation, the story was told: to forgive is as noble as to ask for forgiveness.
Pesan Moral dan Motivasi
Kasih sayang sejati tidak berakhir meskipun disakiti. Memaafkan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan hati yang sesungguhnya.
(True love never fades, even when hurt. Forgiveness is not a weakness, but the greatest strength of the heart.)
