kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.
Menggapai Mimpi — Episode 2: Suara dari Sungai Alas Wetan
Sore menjelang senja di Desa Alas Wetan selalu punya pesonanya sendiri. Langit oranye keemasan memantulkan warna indah di permukaan sawah yang masih tergenang air. Suara jangkrik mulai terdengar dari balik rumpun bambu, menandakan malam akan segera datang.
Di antara pemandangan itu, tampak seorang anak berlari kecil sambil terengah-engah — siapa lagi kalau bukan Panjul.
Ia baru saja mendengar teman-temannya berteriak dari arah sungai kecil yang membelah sawah di belakang desa.
“Panjul! Cepetan, Jul! Kayaknya ada yang nyangkut di pancinganku!”
Itu suara Danu, sahabatnya yang dikenal rajin tapi agak panikan kalau memancing.
“Aku datang, sobat petualang!” teriak Panjul, sambil berusaha melangkah cepat di pematang sawah yang licin.
Sayangnya, seperti biasa, keberuntungan belum berpihak padanya.
Langkahnya baru dua meter, tiba-tiba kakinya tergelincir ke lumpur.
“Waduh! Licin banget! Aduuuhh… anda belum beruntung, kawan… coba lagi!!! Hahaha!”
Suara tawanya menggema di tengah sawah. Tapi belum sempat berdiri, kaki kanannya malah ikut tenggelam lebih dalam.
“Lho, kok malah nambah jeblok! Danuuu, tolongin aku sekalian!”
Danu yang melihat dari jauh hanya bisa menahan tawa sambil tetap memegang pancingannya.
“Ya ampun, Jul! Kamu tuh kayaknya bukan datang buat nolongin, tapi buat ngelawak!”
“Lho, aku serius ini, Dan! Liat nih, lumpurnya kayak narik-narik kakiku! Jangan-jangan ini lumpur ajaib!”
Akhirnya, setelah perjuangan yang cukup “berat” (dan penuh suara cipratan air), Panjul berhasil menarik kakinya keluar. Tapi hasilnya — celana sampai lutut berwarna cokelat pekat, penuh lumpur sawah.
“Wah, tampilanku jadi kayak model sawah nih! Hahaha!” katanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang juga belepotan.
Begitu sampai di tepi sungai, Panjul melihat Danu sedang berusaha keras menarik pancingnya yang melengkung tajam.
“Wah! Danu! Beneran ada ikan besar, ya?”
“Kayaknya sih iya, Jul… berat banget ini!” jawab Danu dengan wajah tegang.
Panjul langsung bersemangat, dan bersiap membantu.
“Wah, kalau dapet ikan besar, kita bisa jadi pahlawan desa nih! Kayak di film dokumenter!”
“Bukan dokumenter, Jul… tapi pemancingan!” sahut Danu sambil menahan tawa.
Dua anak itu pun mulai menarik bersama-sama. Tangan mereka basah, wajah mereka tegang — seolah sedang melawan kekuatan besar di dalam air.
“Tarik, Dan! Tarik terus! Aku udah siap kalau ini ikan raksasa!”
“Jangan lepas, Jul! Ini pasti gede banget!”
Namun begitu kail berhasil terangkat ke permukaan, keduanya terdiam.
Bukan ikan besar yang muncul, melainkan sebuah kantong kresek hitam yang penuh dengan air, menetes-netes dan bau.
Panjul memandang benda itu dengan ekspresi bingung.
“Eee… Dan, ini ikan jenis apa, ya? Kok warnanya plastik banget?”
Danu sudah tertawa keras. “Hahaha! Ya ampun, Jul! Ini tuh sampah, bukan ikan!”
Panjul menatapnya serius sejenak, lalu tersenyum lebar.
“Berarti… kita barusan menangkap ikan plastik langka, kan? Hahaha!”
Keduanya pun tertawa terbahak-bahak sampai perut sakit. Tapi tawa mereka perlahan mereda ketika Danu berkata pelan,
“Eh, tapi ya, Jul… kok di sungai ini banyak banget sampahnya, ya? Padahal dulu waktu kecil sebelum kita sekolah, kita suka mandi di sini. Airnya jernih banget.”
Panjul ikut menatap air sungai yang keruh, banyak daun kering dan plastik mengapung di permukaannya.
“Iya, Dan… dulu waktu aku kecil, Bapak juga sering ngajak mancing di sini. Sekarang baunya aja udah kayak dapur kebakar.”
Keduanya terdiam sejenak. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma lumpur dan daun basah.
Panjul mengambil sebatang ranting dan mencoba mengaduk air sungai, memperhatikan riak yang keruh.
“Eh, Dan, menurutmu… kalau semua orang buang sampah sembarangan kayak gini, nanti sungainya bisa marah nggak, ya?”
Danu menatapnya bingung. “Maksudmu marah gimana, Jul?”
“Ya… kayak manusia. Kalau terlalu kotor, dia bisa sakit. Airnya bisa berhenti ngalir, terus kampung kita banjir. Ih, ngeri!”
Danu mengangguk pelan. “Iya juga, sih. Tapi kayaknya orang-orang nggak sadar, Jul.”
Panjul memandangi kantong kresek di tangan Danu, lalu tersenyum kecil.
“Kayaknya besok aku mau nanya deh ke Bu Ratri… kenapa sungai kita sekarang kotor banget. Aku penasaran. Siapa tahu kita bisa bantu bersihin.”
Danu mengangkat alis. “Wah, kamu serius?”
“Tentu saja! Aku ini anak optimis! Hehehe…”
“Eh, jangan-jangan kamu juga nggak tahu artinya lagi?”
“Waduh! Aduuuhh… anda belum beruntung, kawan! Hahaha!”
Mereka berdua tertawa lepas sambil berjalan pulang melewati pematang sawah, dengan kaki penuh lumpur dan hati penuh tanya. Di belakang mereka, matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan, meninggalkan warna jingga di langit yang mulai gelap.
Malam harinya, di rumah kecil mereka, suara Pak Surya dan Bu Rini terdengar dari dalam dapur.
Panjul duduk di beranda sambil mengeringkan kaki, sementara aroma sayur lodeh menyeruak ke udara.
“Pak, tadi si Panjul pulang-pulang bajunya kotor kabeh, tapi mukane seneng banget,” kata Bu Rini sambil menata piring.
“Hehehe, ya wis biasa, Rin. Bocah kuwi nek ora kotor, ora wareg. Tapi aku seneng saiki dheweke kok luwih akeh mikir.”
“Mikir opo, Pak?”
“Bar mau aku takon, katanya sungai saiki kotor. Terus dia ngomong, ‘sungai bisa marah, Pak’. Aku kaget, Rin. Biasane kan dia guyon wae.”
Bu Rini tersenyum lembut. “Wah, mungkin mulai ngerti makna hidup, Pak.”
“Hahaha, makna hidup apane, Rin. Tapi yo bener… bocah kuwi unik. Lha wong aku wae sing wis tuwo kadhang ora mikir nganti koyo ngono.”
“Iyo, Pak… wong pinter ora mesti ngerti, tapi wong sing tulus kaya Panjul, kadhang malah luwih ngerti.”
Keduanya tertawa pelan. Dari luar, Panjul diam-diam mendengar percakapan itu sambil tersenyum. Ia senang mendengar ayah ibunya berbicara dengan penuh kasih.
“Bapak sama Ibu lucu ya…” gumamnya. “Tapi aku senang mereka ngomongin aku bukan karena aku nakal. Hehehe.”
Ia lalu menatap langit penuh bintang, matanya berkilat seperti menyiapkan sesuatu.
“Besok aku bakal tanya ke Bu Ratri. Tapi… pertanyaannya harus keren.”
Ia menggaruk kepala, berpikir keras.
“Hmm… selain ‘kenapa sungai bisa marah’, aku mau nanya juga…
kalau sungai kotor, ikan bisa batuk nggak ya?
Kalau airnya bau, mereka minumnya gimana?
Terus… kalau sungai senyum, bentuknya kayak apa, ya?”
Ia menatap air sumur di depan rumah yang memantulkan wajahnya.
“Wah, jangan-jangan sungai juga bisa sedih…” katanya pelan.
Dari dalam rumah, suara Bu Rini memanggil,
“Panjul! Mandi, le! Nanti masuk angin!”
“Iya, Bu! Tapi nanti, abis mikir dulu… hahaha!”
Ia tertawa kecil, lalu menatap ke langit.
“Besok pasti seru! Aku bakal tanya banyak hal ke Bu Ratri!”
Namun di kejauhan, suara gemericik sungai terdengar pelan… seolah memang sedang ingin menjawab pertanyaan Panjul.
(Bersambung ke Episode 3: Ketika Sungai Bisa Marah)
