MENGGAPAI MIMPI

Menggapai Mimpi #3

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

Menggapai Mimpi — Episode 3: Ketika Sungai Bisa Marah

Pagi itu, matahari belum tinggi, tapi suasana rumah Panjul sudah ramai seperti pasar.
Dari dapur terdengar suara Bu Rini yang sibuk menyiapkan sarapan, sementara Pak Surya memanggil-manggil anaknya yang belum juga selesai memakai seragam.

“Jul! Kaose dibalik, lho! Tulisan gede ‘Panitia 17 Agustus’ kok di depan!”
“Waduh! Aduuhh… anda belum beruntung, kawan! Coba lagi!!! Hahaha!”

Suara tawa Panjul menggema di rumah kecil itu, membuat ibunya ikut tersenyum.
“Pak, sabar wae. Sing penting anaké semangat sekolah,” kata Bu Rini sambil menaruh piring nasi goreng di meja.

“Semangat sih iya, Rin,” sahut Pak Surya sambil duduk di kursi bambu. “Tapi nek terus-terusan kayak gini, bisa-bisa sekolahnya buka cabang khusus buat bocah terlambat, hahaha!”

Panjul berlari keluar kamar, rambutnya masih acak-acakan tapi wajahnya berseri.
“Iya, Pak, tapi hari ini aku harus cepet! Aku mau nanya sesuatu ke Bu Ratri!”

Bu Rini menatapnya sambil menepuk pundaknya lembut.
“Nanya apa, Le?”

“Rahasia, Bu! Tapi penting banget. Tentang sungai yang marah!”

Pak Surya nyengir sambil mengangkat alis.
“Sungai marah? Lho, kowe nek iso ngajak sungai ngomong, sekalian tak titip salam karo ikan lele sing ilang minggu wingi!”

“Siap, Pak! Aku sampaikan nanti kalau dia nggak lagi ngambek!” jawab Panjul sambil tertawa lebar.
Ia lalu mencium tangan kedua orang tuanya dan berlari ke luar rumah sambil menenteng tas yang agak miring.

Di jalan menuju sekolah, Panjul berjalan cepat bersama Danu, seperti biasa. Angin pagi berhembus lembut membawa aroma daun padi dan tanah basah. Tapi kali ini, wajah Panjul tampak serius — bibirnya terus bergumam pelan.

“Eh, Jul,” kata Danu penasaran, “kamu ngomong apa sih dari tadi?”

“Aku lagi ngapalin pertanyaanku buat Bu Ratri. Takut lupa!” jawabnya sambil mengerutkan kening.

“Pertanyaan kayak apa?”

“Hmm… gini nih,” Panjul menatap langit seolah sedang berpidato, “kenapa sungai bisa marah? Kalau sungai kotor, ikan bisa batuk nggak? Terus… kalau airnya bau, ikan minumnya gimana?”

Danu langsung ngakak. “Hahaha! Jul, kamu tuh ya… pertanyaannya aneh banget!”

Panjul menatapnya serius. “Lho, siapa tahu penting, Dan. Ikan juga makhluk hidup, mereka pasti punya perasaan!”

Danu hanya geleng-geleng sambil tersenyum. “Iya, iya, calon ilmuwan nyeleneh.”

Begitu sampai di sekolah, suasana sudah ramai. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa bermain bola plastik, dan sebagian lagi mengobrol sambil sarapan jajan.

Di antara keramaian itu, muncul sosok anak laki-laki bertubuh kurus dengan rambut agak panjang — Riko, anak yang terkenal iseng tapi juga cerdas.

“Eh, Jul!” serunya sambil melambai. “Sepatumu kece banget, beli di kota, ya?”

Panjul menatap kakinya dengan bangga. “Hehehe, ini warisan dari sepupu. Katanya sepatu ini bikin lari tambah cepat!”

Riko tersenyum licik. “Wah, aku pinjam bentar dong, penasaran secepat apa.”

Belum sempat Panjul menjawab, Riko sudah mengambil salah satu sepatu dari kakinya dan langsung kabur!

“Woiii! Kembalikan! Itu sepatu kece warisan keluarga!” teriak Panjul sambil berlari mengejar.

Riko tertawa keras sambil berlari mengelilingi halaman sekolah. “Coba kejar dulu, Jul! Katanya sepatunya bikin lari cepat!”

“Wah, dasar kamu, Riko! Awas aja kalau ketangkep, aku kasih ceramah soal ikan yang batuk!”

Anak-anak yang melihat kejadian itu ikut tertawa terbahak-bahak. Bahkan Bu Ratri yang baru datang dari ruang guru sempat tersenyum melihat tingkah dua muridnya itu.

Akhirnya, ketika bel masuk berbunyi, Riko berhenti dan melempar sepatu Panjul dengan ekspresi geli.
“Nih, ambil! Ternyata kamu larinya lebih cepat dari yang aku kira, Jul!” sindir Riko.

Panjul mengambil sepatunya sambil terengah-engah. “Ya iyalah! Aku kan sudah latihan kejar ayam tiap pagi di rumah! Hahaha!”

Seluruh teman sekelas yang melihat kejadian itu tertawa puas.

Setelah kelas dimulai, suasana kembali tenang. Bu Ratri berdiri di depan papan tulis, menjelaskan tentang ekosistem air dan kebersihan lingkungan.

Namun di tengah pelajaran, tangan Panjul terangkat tinggi.
“Bu! Saya mau nanya sesuatu, boleh?”

Bu Ratri tersenyum. “Boleh, Panjul. Tapi jangan tiba-tiba nanya harga ikan lagi ya, seperti minggu lalu.”

Kelas langsung tertawa. Tapi Panjul tetap dengan wajah seriusnya.
“Enggak, Bu. Ini tentang sungai di desa kita. Kenapa sekarang sungainya jadi kotor banget? Apa sungai bisa marah kalau dibuangin sampah terus?”

Kelas mendadak hening. Bu Ratri memandang Panjul, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang kali ini benar-benar serius.
“Itu pertanyaan yang bagus, Panjul,” katanya lembut. “Sungai memang nggak bisa marah seperti manusia, tapi kalau terlalu kotor, sungai bisa ‘sakit’. Airnya nggak bisa dipakai lagi, ikan-ikannya mati, dan orang-orang juga bisa kena penyakit.”

Panjul mengangguk pelan. “Berarti… sungai itu kayak kita, ya, Bu? Kalau kebanyakan beban, bisa sakit juga?”

“Betul sekali, Panjul,” jawab Bu Ratri dengan senyum bangga.

Tapi sebelum suasana jadi terlalu serius, Panjul melanjutkan dengan nada lucu,
“Kalau gitu, Bu, nanti aku mau ngajak teman-teman bantu sungai biar sembuh. Tapi jangan-jangan kita diserang ikan marah, hahaha!”

Seluruh kelas kembali tertawa lepas.

Saat istirahat, Panjul duduk di bawah pohon bersama Danu dan Riko.
Danu berkata sambil mengunyah roti, “Jadi kamu beneran mau bersihin sungai, Jul?”

“Iya! Aku nggak bisa diem aja. Sungai itu udah kayak teman waktu kecil.”

Riko menatap Panjul, kali ini tanpa senyum usil. “Kamu serius banget, Jul. Aku kira kamu cuma bercanda.”

Panjul mengangkat alis. “Lho, kalau sungai kotor terus, nanti nyamuknya betah. Bisa-bisa kamu gatal tiap hari, Ko!”

Riko tertawa kecil. “Oke, oke. Aku ikut deh. Tapi kamu yang jadi pemimpin, ya.”

Panjul terkejut, tapi wajahnya langsung sumringah.
“Beneran, Ko? Wah, ini momen bersejarah! Operasi Sungai Tersenyum resmi dimulai!”

Danu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa.
“Nama misinya aja udah bikin aku pengen ikut.”

Mereka bertiga saling menatap dan tertawa lepas di bawah pohon. Tak ada yang tahu, sore itu, tiga anak kelas lima itu baru saja memulai langkah kecil yang akan mengubah Desa Alas Wetan perlahan-lahan.

Sementara itu, dari jendela ruang guru, Bu Ratri menatap mereka bertiga dengan senyum hangat.
“Anak-anak ini… lucu, tapi mereka punya hati yang besar,” gumamnya.

Ia lalu mencatat sesuatu di buku catatan pribadinya:

‘Besok, akan kubantu mereka membuat kegiatan kebersihan sungai untuk tugas proyek sekolah. Siapa tahu, ini awal dari perubahan kecil yang berarti.’

Dan malam harinya, sebelum tidur, Panjul menulis di buku catatannya yang penuh coretan kecil:

“Hari ini aku belajar sesuatu. Kadang pertanyaan aneh bisa membuka jalan buat kebaikan. Aku nggak tahu nanti bakal kayak apa, tapi aku siap. Karena aku anak optimis yang senang minum kopi optimisme! Hahaha!”

Ia menutup bukunya sambil tersenyum puas, lalu bergumam pelan sebelum matanya terpejam,
“Besok, sungai… tunggu ya. Kita bakal bikin kamu tersenyum lagi.”

Scroll to Top