Menggapai Mimpi

Menggapai Mimpi

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

#Episode 1: Awal dari Sebuah Mimpi

Pagi itu, mentari baru saja naik malu-malu di balik pepohonan jati yang mengelilingi Desa Alas Wetan. Embun masih menempel di ujung daun, dan suara ayam jantan bersahutan dari rumah ke rumah. Dari kejauhan terdengar suara air sungai kecil yang mengalir di antara batu-batu, seperti sedang bersenandung lembut menyambut hari baru.

Desa Alas Wetan bukan desa yang terpencil. Dari sini, kota bisa ditempuh dengan naik sepeda motor sekitar dua puluh menit. Tapi suasananya masih sangat alami — sawah terbentang luas, dan di pinggir jalan banyak anak-anak berangkat sekolah sambil tertawa, membawa tas di punggung dan sandal yang sudah mulai miring ke kanan.

Di salah satu rumah kayu sederhana di ujung jalan desa, seorang anak laki-laki tampak tergesa-gesa keluar rumah sambil menenteng sepotong roti yang sudah digigit separuh.

“Jul! Wes adus durung?” teriak seorang pria berkaus oblong dari dalam rumah.

“Wes, Yah! Tapi odolnya lupa dibilas, asem banget rasane!” jawab anak itu sambil meringis.

Lelaki itu, Pak Surya, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia memang terbiasa mendengar jawaban-jawaban aneh dari anak semata wayangnya itu — Panji, yang lebih akrab dipanggil Panjul oleh teman-temannya.

“Lho, Jul… piye to? Wes jam pitu lewat! Kowe ora mlebu sekolah ta?” tanya Pak Surya lagi sambil memukul pelan daun pintu dengan tangannya yang keras karena kerja.

“Hehehe… bentar, Yah! Sepatu masih ketinggalan di teras!” sahut Panjul, padahal sepatunya sedang ia pegang di tangan kiri.

Dari dapur, suara ibunya, Bu Rini, ikut terdengar.
“Panjul, sarapane dihabiske, le! Jangan cuma roti, nanti sakit perut lho!”

“Iya, Bu! Tapi roti ini kan ada selainya, itu udah termasuk gizi, hahaha!” jawab Panjul cepat.

Pak Surya dan Bu Rini saling pandang lalu tertawa kecil.
“Anake iki pancen lucu tapi ndableg,” gumam Pak Surya pelan.

Panjul adalah anak kelas lima SD di Sekolah Dasar Negeri Alas Wetan 1. Tubuhnya agak gemuk, tidak terlalu tinggi, dan rambutnya selalu dipotong pendek rapi oleh ayahnya setiap dua minggu sekali — bukan karena suka gaya militer, tapi karena menurut ayahnya, “potongan pendek irit sabun, Jul.”

Walau begitu, Panjul dikenal semua orang di desa. Bukan karena prestasinya — justru karena kelakuannya yang spontan, kocak, dan kadang membuat orang dewasa geleng-geleng kepala. Tapi di balik tawanya, Panjul punya hati yang besar. Ia selalu ingin belajar, meski sering gagal.

Saat teman-temannya bercanda memanggilnya “Panjul”, ia tidak marah.
Baginya, itu panggilan akrab, tanda bahwa ia diterima di antara teman-temannya.

“Panjul, cepet lho! Kowe telat maneh yo, aku ora gelem nunggu,” teriak Danu, teman sekelasnya yang rajin dan selalu rapi, dari depan rumah.

“Wes, iki lagi nyiapin mental!” sahut Panjul sambil memakai tasnya terbalik.

Danu menghela napas panjang. “Tasmu kebalik, Jul…”

“Waduh! Aduuuhh… anda belum beruntung, kawan… coba lagi!!! Hahahaha…” katanya dengan gaya khasnya. Danu hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil.

Di perjalanan menuju sekolah, mereka melewati sawah yang hijau menghampar. Angin berhembus pelan, membuat daun padi bergoyang seperti melambai menyemangati langkah mereka. Sesekali Panjul menoleh ke arah pepohonan dan berkata,
“Eh, Danu, aku pernah dengar kata guru, kalau pohon itu teman kita. Jadi kalau aku ngomong sama pohon, berarti aku orang ramah, kan?”

Danu menatapnya bingung. “Tapi kamu ngomongnya keras banget, Jul, nanti dikira aneh…”

Panjul hanya tertawa. “Hahaha, biar aja. Kadang yang aneh itu justru bikin hidup rame.”

Sesampainya di sekolah, suasana sudah ramai. Anak-anak berlarian, beberapa belajar, dan sebagian lagi hanya bercanda. Panjul langsung masuk kelas dengan langkah santai.

“Pagi, Bu Ratri!” sapanya ceria kepada gurunya.

Bu Ratri, guru kelas lima yang lembut tapi tegas, membalas senyum. “Pagi juga, Panjul. Hari ini jangan tidur di kelas lagi, ya?”

Panjul menegakkan badan dan menjawab dengan suara lantang,
“Tenang, Bu! Hari ini saya sudah sarapan semangat dan seteguk kopi optimisme!”

Anak-anak sekelas langsung tertawa keras. Bu Ratri ikut tersenyum, tapi kemudian menatap Panjul dengan mata penasaran.
“Wah, kata-katanya bagus, Panjul. Tapi kamu tahu nggak, apa arti optimis itu?”

Panjul terdiam sejenak, lalu menggaruk kepala.
“Hmm… nggak tahu, Bu. Tapi saya sering dengar di iklan-iklan TV, kalau orang bilang ‘harus optimis!’, terus abis itu dia semangat banget dan cepet nyelesaiin kerjaannya. Jadi saya pikir itu kayak mantra penyemangat gitu, Bu!”

Seluruh kelas langsung meledak tertawa.
Bahkan Danu sampai menutup mulutnya menahan tawa.

Bu Ratri pun tertawa sambil menggeleng. “Wah, Panjul… penjelasanmu lucu, tapi cukup masuk akal juga.”
Ia lalu berkata lembut, “Optimis itu artinya yakin dan percaya pada diri sendiri, Jul. Kalau kamu optimis, kamu nggak gampang menyerah.”

Panjul mengangguk serius, lalu tersenyum lebar.
“Ohh, gitu ya, Bu… berarti saya harus optimis terus, biar nggak nyerah meski sering salah jawab, hahaha!”

Kelas kembali riuh. Bu Ratri ikut tertawa sambil mengusap kepala Panjul.
“Ya, benar begitu, Panjul. Tapi mulai sekarang, optimisnya juga harus dibarengi belajar, ya.”

“Siap, Bu Ratri! Saya optimis bisa jadi murid paling rajin… kalau nggak ngantuk!”

Tawa pun kembali pecah di kelas lima pagi itu.

Sore harinya, setelah sekolah, Panjul duduk di pematang sawah sendirian. Angin sore mengelus wajahnya lembut. Ia menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kecil — gambar rumah besar dengan taman, dan tulisan kecil di bawahnya: “Rumah Panjul yang Bahagia.”

“Suatu hari nanti…” gumamnya pelan, “aku pengin bangun rumah buat Bapak sama Ibu. Biar mereka nggak capek terus.”

Ia menatap langit jingga yang perlahan berubah warna.
“Dan aku bakal jadi orang sukses yang… apa tadi, oh iya… optimis!” katanya sambil tertawa sendiri.

Seekor burung kecil terbang melintas. Panjul melambaikan tangan seolah berpamitan.
Tapi sebelum ia beranjak, dari kejauhan terdengar suara anak-anak memanggil namanya. Suara yang riuh dan penuh tawa.

“Panjul! Panjul! Cepetan sini! Ada sesuatu di sungai!”

Panjul menoleh, wajahnya bingung.
“Lho? Ada apa, ya?”

Ia lalu berlari kecil menuju arah suara itu, sambil berseru,
“Waduh, jangan-jangan ada ikan besar lagi! Aduuuhh… anda belum beruntung, kawan… hahahaha!”

Langkahnya hilang di antara hijaunya padi, meninggalkan senyum penasaran —
ada apa sebenarnya di sungai sore itu?

(Bersambung ke Episode 2: Suara dari Sungai Alas Wetan)

Scroll to Top