Menggapai Mimpi

Menggapai Mimpi #11

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

Menggapai Mimpi — Episode 11: Liburan Dua Minggu Ala Panjul

Musim hujan membawa aroma tanah basah yang khas di Desa Alas Wetan. Hampir setiap sore, langit menggelap, diikuti rintik hujan yang menari di atas genting. Kadang-kadang, hujan bahkan datang sejak pagi, membuat udara terasa dingin dan nyaman untuk… tidur lebih lama.

Namun tidak bagi Panjul.
Anak yang satu itu justru bersemangat luar biasa. Baginya, libur dua minggu bukan waktu untuk bermalas-malasan, melainkan waktu untuk “beraksi”!

Suara ayam jago baru saja berkokok ketika Panjul sudah bangun. Ia berdiri di depan kaca, mengusap rambut pendeknya yang berdiri ke segala arah.

“Hehehe, ini dia! Dua minggu kebebasan! Dua minggu penuh petualangan! Dua minggu tanpa PR!”

Ia merentangkan tangan seolah menyambut dunia baru.
Lalu, seperti kebiasaannya, ia mulai berbicara sendiri di depan kaca.

“Hari ini, rencana pertama: bantu Bapak di kebun! Rencana kedua: bantu Ibu masak sayur! Rencana ketiga: belajar sepeda roda dua tanpa jatuh!”
“Aduh, kalau semua berhasil, aku pasti jadi pahlawan keluarga! Hahaha…”

Suaranya menggema sampai ke dapur. Ibu Rini yang sedang menyiapkan sarapan hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Waduh, bocah iki ngomong karo kaca maneh…”

Dengan semangat seperti prajurit, Panjul berlari ke kebun di belakang rumah.
Pak Surya sedang mencabuti rumput liar di antara tanaman cabai.

“Pagi, Pak! Hari ini aku siap bantu!”
“Heh? Yo wis, bantu wae nyabuti suket kae.”

Baru lima menit Panjul menunduk, keringat sudah mengalir di pipinya. Tangannya belepotan tanah, dan setiap kali ia menarik rumput, yang ikut terangkat malah cabainya.

“Lho, Jul! Ojo cabute sing ana wohé!” teriak Pak Surya.
“Lho, kupikir bonus, Pak!”

Akhirnya, Pak Surya cuma bisa tertawa pasrah.

“Wis, Jul. Kowe istirahat wae. Sing penting wis niat bantu.”

Panjul duduk di pinggir kebun, mengelap keringatnya. Ia bergumam pelan,

“Aduh… anda belum beruntung, kawan. Coba lagi besok.”

Keesokan paginya, suara hujan sudah terdengar sejak subuh. Butir-butir air jatuh deras, menghantam genting rumah Panjul dengan irama cepat.
Namun, semangat Panjul tak surut.

“Hujan bukan halangan! Hari ini aku akan bantu Ibu di dapur!”

Ia masuk dapur dengan wajah percaya diri. Ibu Rini sedang menumis bawang.

“Bu, aku mau bantu goreng tempe!”
“Yo wis, tapi ati-ati yo, Le. Minyak panas.”

Panjul mengambil sendok penggorengan dan mengangkat potongan tempe. Tapi baru beberapa detik, cessss! minyak panas memercik, dan Panjul langsung menjerit kecil sambil melompat-lompat.

“Aduhhh! Anda belum beruntung kawan! Panasnya luar biasa!”

Ibu Rini spontan tertawa sampai air matanya keluar.

“Halah, bocah iki… wis, sing penting tangane ora kenapa-kenapa.”

Panjul hanya nyengir sambil memegang sendok seperti pahlawan kalah perang.

“Hahaha… mungkin aku belum cocok di dapur, Bu. Tapi kalau jadi tukang cicip, aku siap!”

Hari ketiga liburan, cuaca cerah — langka sekali di musim hujan.
Langit biru, awan tipis, dan suara jangkrik terdengar riang. Panjul tahu ini waktunya menjalankan rencana ketiganya: belajar naik sepeda roda dua tanpa jatuh.

Ia menuntun sepedanya ke jalan depan rumah.

“Oke, Panjul… hari ini kamu harus bisa! Jangan takut jatuh. Ingat kata Pak Bima: kalau mau maju, jangan takut luka!”

Dengan wajah tegang, ia menaiki sepedanya, mendorong pelan… dan—brukk!—terjatuh ke semak-semak.

“Aduh! Anda belum beruntung, kawan! Hahaha…”

Beberapa anak tetangga yang melihat dari kejauhan tertawa sambil bertepuk tangan.

“Ayo, Jul! Sekali lagi!” seru mereka.

Panjul berdiri, menepuk celananya yang kotor, dan mencoba lagi.
Kali ini berhasil lebih lama, tapi tetap saja jatuh di ujung tikungan.
Namun, bukannya marah, ia justru tertawa keras.

“Lumayan! Kalau begini, tiga kali lagi bisa keliling kampung!”

Dan benar saja, sore harinya langit kembali gelap, awan menggulung tebal, dan hujan turun deras seakan menertawakan perjuangan Panjul. Ia berlari pulang sambil menuntun sepedanya yang rantainya lepas.

Malamnya, suara hujan kembali terdengar lembut di atap seng rumah mereka. Panjul duduk di depan jendela, memandangi air yang menetes dari ujung genting.
Bau tanah basah bercampur dengan aroma kayu bakar dari dapur.

Ia menatap ke luar sambil berbicara pada dirinya sendiri — kebiasaan khas Panjul setiap kali merenung.

“Tiga hari, tiga kegagalan. Tapi anehnya… aku senang.”
“Mungkin gagal itu bukan akhir, tapi latihan biar nanti berhasil.”

Ibu Rini muncul membawa segelas susu hangat.

“Iki, Le. Ngombe dhisik. Ben anget awaké.”
“Makasih, Bu. Besok aku mau bantu lagi.”
“Hehehe, ya sing penting ora nyerah. Wong hujan wae ora bosen tiba saben dina.”

Panjul tersenyum mendengar kalimat ibunya. Ia menatap hujan yang jatuh tanpa henti, membayangkan hujan sebagai guru yang sabar.

“Iya ya, Bu… hujan aja nggak pernah berhenti turun walau ditertawakan langit.”

Desa Alas Wetan kini benar-benar terbungkus suasana musim hujan.
Sawah-sawah tergenang air, sungai kecil di dekat kebun Pak Surya meluap sedikit. Anak-anak sering bermain hujan di jalan depan rumah dengan riang, sementara para ibu menjemur pakaian di bawah atap seadanya.

Kadang di sore hari, suara petir mengguntur keras di kejauhan, membuat ayam-ayam berlari ke kandang. Tapi anehnya, Panjul selalu memandangnya dengan kagum.

“Petir itu kayak marah, tapi sebenarnya dia cuma pengingat biar kita nggak main jauh-jauh pas hujan.”

Hari sudah malam ketika Panjul menulis sesuatu di buku catatannya:

“Catatan Panjul: Hari ini gagal lagi, tapi nggak apa-apa. Karena kalau nggak gagal, aku nggak punya cerita.”

Ia menutup buku itu, merebahkan diri di kasur, dan menatap langit-langit kamarnya yang berbayang karena lampu minyak.

“Libur dua minggu ini pasti seru… Aku harus siap buat hari keempat. Aduh, anda belum beruntung kawan! Tapi siapa tahu besok beruntung!”

Panjul tertawa pelan, lalu perlahan matanya terpejam ditemani suara hujan yang jatuh lembut — seperti lagu pengantar tidur khas Desa Alas Wetan.

 (Bersambung ke Episode 12: Eksperimen Panjul)

Scroll to Top