kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.
Episode 4: Operasi Sungai Tersenyum Dimulai!
Pagi itu, suasana di SD Negeri Alas Wetan berbeda dari biasanya.
Halaman sekolah terasa lebih riuh, bukan karena ada lomba, tapi karena kabar tentang “Operasi Sungai Tersenyum” sudah tersebar ke seluruh kelas.
Beberapa siswa dari kelas lain ikut penasaran, bahkan ada yang berbisik-bisik,
“Katanya, Panjul mau jadi pemimpin proyek bersihin sungai?”
“Seriusan? Yang suka jatuh waktu jalan di sawah itu?”
Begitu Panjul lewat dengan langkah semangat, beberapa anak langsung menahan tawa kecil. Tapi bukannya tersinggung, ia malah tersenyum lebar.
“Hehehe… iyaaa, siapa tahu nanti sungainya bersih terus bisa buat lomba renang nasional, hahaha!”
Candaannya langsung disambut tawa seisi halaman. Begitulah Panjul — anak yang tak pernah marah walau sering jadi bahan bercandaan.
Ketika bel masuk berbunyi, Bu Ratri sudah menunggu di depan kelas sambil membawa tumpukan kertas dan sebuah map berwarna hijau. Di papan tulis tertulis besar-besar:
“Proyek Lingkungan: Operasi Sungai Tersenyum”
“Anak-anak,” kata Bu Ratri dengan suara tegas tapi lembut, “hari ini kita akan merencanakan kegiatan membersihkan sungai di dekat desa kita. Ini bukan main-main, ya. Kalian harus punya rencana yang matang.”
Kelas langsung ramai. Ada yang mengangkat tangan, ada juga yang langsung berteriak tanpa izin.
“Bu, nanti kita bawa sapu ijuk aja!”
“Aku mau bawa ember!”
“Aku mau bawa pancing, siapa tahu ada ikan besar!”
Semua bicara bersamaan. Suasana jadi gaduh.
Panjul mengangkat tangan tinggi-tinggi, “Bu! Kalau boleh, aku mau bawa—”
Tapi sebelum sempat melanjutkan, Riko langsung memotong dengan nada menggoda,
“Bawa cemilan, kan? Soalnya nanti kamu pasti capek duluan! Hahaha!”
Kelas langsung meledak tertawa. Panjul hanya nyengir.
“Aduh, anda belum beruntung kawan! Salah tebak! Aku mau bawa semangat! Karena semangat itu ringan dibawa tapi berat artinya! Hahaha!”
Tawa anak-anak makin ramai. Bahkan Bu Ratri pun ikut tersenyum mendengar celotehan khas Panjul itu.
Setelah suasana sedikit tenang, Bu Ratri menulis empat kelompok di papan tulis.
“Baik, sekarang kita bentuk tim: tim pengambil sampah, tim pengepak, tim pengangkut, dan tim dokumentasi. Panjul, kamu pimpin tim pengambil sampah ya.”
Panjul berdiri tegak, wajahnya penuh semangat. “Siap, Komandan Ratri!”
Anak-anak tertawa lagi, tapi kali ini dengan semangat ikut-ikutan.
Namun, di tengah tawa itu, Bima, anak yang cukup serius dan pintar di kelas, mengangkat tangan.
“Bu, tapi kalau kita cuma ngambil sampahnya, nanti sampah itu mau dibuang ke mana? Jangan-jangan malah numpuk di pinggir jalan.”
Kelas mendadak hening. Beberapa anak mulai mengangguk setuju.
Riko langsung menimpali, “Iya tuh, Bu. Jangan sampai sungainya bersih tapi depan sekolah malah jadi tempat sampah dadakan.”
Bu Ratri mengangguk. “Nah, itu pertanyaan bagus. Karena itu Ibu sudah memanggil seseorang untuk membantu kita.”
Semua mata langsung menatap ke arah pintu.
Masuklah seorang pria berjaket hijau bertuliskan ‘Sahabat Alam Alas Wetan’. Ia tersenyum ramah sambil membawa poster berisi gambar-gambar sungai.
“Perkenalkan, ini Pak Andri, dari komunitas lingkungan yang sering membantu desa menjaga kebersihan sungai,” jelas Bu Ratri.
Pak Andri menatap seluruh siswa. “Halo, pejuang kecil lingkungan! Kalian hebat sekali sudah mau peduli sama sungai. Tapi ingat, membersihkan sungai itu bukan cuma soal memungut sampah. Kalian juga harus tahu cara mengelola sampahnya dengan benar.”
Beberapa siswa mulai mencatat, tapi sebagian malah berbisik-bisik.
Riko mencondongkan tubuh ke arah Panjul dan berbisik,
“Jul, menurutmu kalau sungainya udah bersih, ikan-ikan bakal tepuk tangan nggak, ya?”
Panjul menahan tawa. “Bisa jadi, tapi hati-hati, nanti mereka minta selfie!”
Keduanya langsung tertawa pelan, sampai Bu Ratri melirik tajam. “Riko, Panjul, fokus ya!”
“Siap, Bu!” jawab Panjul cepat-cepat. “Saya hanya latihan komunikasi dengan ikan, hahaha!”
Sekelas langsung tergelak lagi. Tegang berubah cair, seperti biasa — gaya Panjul memang ajaib.
Setelah suasana tenang, Pak Andri mulai menjelaskan cara membersihkan sungai dengan aman:
- Gunakan sarung tangan dan sepatu karet.
- Pisahkan sampah organik dan anorganik.
- Jangan turun langsung ke sungai yang dalam.
- Jaga kerja sama tim dan saling membantu.
Ia juga menunjukkan contoh foto sungai yang dulu kotor tapi sekarang sudah bersih karena gotong royong masyarakat.
“Kalau anak-anak seumuran kalian saja bisa mulai, bayangkan kalau semua orang di desa ikut bergerak,” katanya dengan semangat.
Bu Ratri tersenyum bangga melihat murid-muridnya mulai serius.
“Ada yang mau bertanya?” tanyanya.
Beberapa anak mengangkat tangan, termasuk Panjul.
“Pak, kalau ketemu ular gimana?”
Kelas langsung heboh.
“Atau buaya, Jul?” seru Riko menimpali.
“Atau nyamuk galau!” tambah Danu.
Panjul langsung berdiri dan menepuk dada.
“Tenang kawan-kawan, kalau nyamuk galau datang, biar aku yang kasih motivasi: jangan menyerah, nyamuk!”
Seluruh kelas tertawa keras sampai Pak Andri pun tak kuasa menahan senyum.
“Wah, sepertinya Panjul ini calon motivator masa depan,” katanya sambil tertawa kecil.
Setelah penjelasan selesai, Bu Ratri membagi tugas dan menuliskan rencana kegiatan di papan tulis:
- Hari pelaksanaan: Sabtu pagi
- Lokasi: Sungai belakang kebun bambu
- Perlengkapan: Karung, sarung tangan, tong sampah, tali, dan kamera
- Koordinator lapangan: Bu Ratri & Pak Andri
Panjul menatap daftar itu sambil bergumam,
“Wah, kayak mau misi penyelamatan dunia, nih. Cuma bedanya kita nggak naik pesawat, tapi naik sepeda onthel!”
Riko langsung menjawab, “Dan pemimpinnya Panjul… si pemberani yang takut belut!”
“Woi! Aku bukan takut, aku cuma belum siap bersahabat dengan belut, hahaha!”
Gelak tawa lagi-lagi memenuhi kelas. Namun, di balik semua kelucuan itu, mata Panjul memancarkan semangat yang tulus.
Ia menatap keluar jendela, ke arah pepohonan yang di baliknya mengalir sungai kecil yang dulu sering ia lewati.
“Tunggu aku ya, Sungai Alas Wetan,” bisiknya pelan. “Kita bakal bikin kamu tersenyum lagi, walau aku belum punya kekuatan super selain ketawa!”
Ketika bel pulang berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Mereka tampak antusias, sebagian bahkan sudah mulai merencanakan alat apa yang akan dibawa.
Sementara itu, Panjul masih duduk di kursinya, menatap peta kecil sungai yang dibagikan Pak Andri.
Ia tersenyum kecil sambil berkata pada dirinya sendiri,
“Aku cuma bocah biasa, tapi kalau sungai aja bisa berubah, aku juga bisa.”
Ia lalu berdiri, menggenggam peta itu kuat-kuat.
Hari Sabtu nanti akan jadi hari besar — bukan hanya untuk desa, tapi untuk dirinya sendiri.
(Bersambung ke Episode 5: Hari di Mana Sungai Tersenyum Kembali)
