Menggapai mimpi #10

Menggapai Mimpi #10

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

Menggapai Mimpi — Episode 10: Rapor untuk Ayah dan Ibu

Hari-hari menjelang pembagian rapor di SD Negeri Alas Wetan terasa seperti menunggu undian berhadiah. Semua murid mulai cemas sekaligus penasaran — terutama si Panjul, yang sejak pagi sudah heboh sendiri.

Di kelas, Bu Ratri sedang membereskan tumpukan rapor sambil memeriksa data terakhir. Sementara itu, anak-anak diberi waktu bebas bermain di halaman. Tapi Panjul malah mondar-mandir di depan meja guru, dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

“Bu, boleh nanya sesuatu?”
“Apa lagi, Jul?” tanya Bu Ratri sambil tersenyum.
“Nilai saya nanti kira-kira naik nggak, Bu? Sedikit aja, nggak usah banyak.”
“Hehehe, sabar dulu. Rapor dibuka nanti pas hari penerimaan.”
“Saya cuma pengin tahu angka depannya, Bu. Lima atau enam?”
“Rahasia negara, Jul.”
“Wah, kalau gitu saya izin jadi detektif sebentar, Bu!”

Satu kelas yang mendengar itu langsung tertawa. Bahkan Danu sampai menepuk jidatnya.

“Jul, kamu itu kayak gasing, muter terus nggak tenang!”
“Hehehe, ya biar nggak stres, Nu! Kata Ayah, yang muter itu otak, bukan badan, tapi kalau otakku pusing ya badanku aja yang muter!”

Hari demi hari berlalu. Di sekolah, suasana semakin tenang. Tidak ada pelajaran, hanya kegiatan membersihkan kelas, latihan lagu untuk acara, dan tentunya… tanya-tanya nilai.

Riko, seperti biasa, tak pernah absen menggoda.

“Jul, kamu yakin nilaimu naik? Jangan-jangan malah turun, hehehe!”
“Wah, Ko, kamu jangan menakut-nakuti! Kalau turun, aku turun juga ke sawah aja!”
“Hahaha, ya cocok! Nanti nilai kamu disemai, siapa tahu tumbuh jadi bagus!”

Mereka tertawa berdua. Tapi di hati kecilnya, Panjul benar-benar penasaran. Ia tahu, selama ini ia memang tak sepintar teman-temannya. Namun, sejak belajar dengan caranya sendiri — menempel catatan di mana-mana dan membaca sambil bergaya — ia merasa sedikit lebih percaya diri.

“Pokoknya apa pun hasilnya, aku udah berusaha,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Hari itu akhirnya tiba. Sejak pagi, Panjul sudah bangun paling awal, bahkan sebelum ayam berkokok. Ia memakai seragam rapi, rambutnya disisir ke samping meski tetap berantakan di ujungnya.

Di sekolah, suasananya berbeda. Orang tua berdatangan dengan wajah cerah, sementara murid-murid berkumpul di depan kelas masing-masing.

Bu Ratri memanggil satu per satu orang tua masuk ke kelas untuk menerima rapor dan berbicara singkat.

Sementara itu di luar, Panjul tidak bisa diam.
Ia bolak-balik di depan pintu kelas, kadang duduk, kadang berdiri lagi.

“Jul, kamu itu kayak gasing beneran, muter-muter terus!” seru Riko sambil ngakak.
“Hehehe… aku cuma pemanasan, biar nanti waktu lihat rapor nggak langsung pingsan!”
“Lha, kamu takut?”
“Enggak juga. Cuma jaga-jaga aja. Siapa tahu nilainya bikin kaget!”

Danu menimpali pelan, “Tenang aja, Jul. Aku yakin kamu naik, kok.”

“Makasih, Nu. Tapi kalau aku pingsan nanti, tolong bawa ke kantin aja, ya. Biar bisa disiram es teh!”

Semua yang mendengar itu tertawa keras.

Satu per satu orang tua keluar dari kelas membawa map biru berisi rapor. Ada yang tersenyum lebar, ada juga yang tampak cemberut.
Panjul semakin gelisah.

Akhirnya, nama Ibu Rini dipanggil.

“Ibu Rini, silakan masuk,” kata Bu Ratri ramah.

Panjul langsung berdiri tegak seperti prajurit. Ia menatap pintu kelas dengan mata lebar, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Aduhh… anda belum beruntung kawan, semoga saya kali ini beruntung,” gumamnya pelan.

Beberapa menit terasa seperti satu jam. Sampai akhirnya, Ibu Rini keluar sambil membawa map biru. Wajahnya terlihat… tersenyum!

“Bu! Gimana, Bu?! Nilai aku naik, Bu?!”
“Hehehe… coba lihat sendiri, Le.”

Panjul membuka rapornya pelan-pelan. Matanya langsung melebar.
Ada angka 63 di salah satu kolom!

“WAAAAAH! ENAM PULUH TIGA!!! HIDUP PANJUL!!!”

Ia langsung melompat kegirangan, berlari keluar kelas, dan berputar-putar di lapangan seperti anak kecil yang menemukan harta karun. Teman-temannya tertawa melihat kelakuannya.

“Jul! Kamu kenapa?!” teriak Riko.
“Aku… berhasil, Ko! Nilai enam puluh tiga! Sekarang aku resmi jadi anak rata-rata plus tiga!”
“Hahaha! Kamu luar biasa, Jul!”

Semua ikut bersorak dan tertawa. Bu Ratri yang melihat dari jendela hanya tersenyum lembut. Ia tahu, bagi Panjul, angka itu bukan sekadar nilai — tapi bukti perjuangan panjang dan semangat pantang menyerah.

Siang harinya, Panjul pulang sambil memegang map biru itu dengan bangga. Sesampainya di rumah, Pak Surya sudah duduk di teras sambil menyeruput kopi.
Ibu Rini tersenyum dari dapur, menyiapkan teh hangat.

“Pak, ini raporku!”
“Wah, ayo kéné, Bapak pengin weruh.”

Panjul menyerahkan rapor itu dengan penuh semangat. Pak Surya membuka perlahan, membaca dengan teliti.

“Hmm… nilai-nilaine wis lumayan, Le. Ana sing luwih saka nem puluh. Tapi sing paling penting iki.”

Pak Surya menunjuk bagian bawah rapor, di mana ada kolom Sikap dan Perilaku.
Tertulis: “Panjul menunjukkan kejujuran, ketulusan, dan semangat belajar yang tinggi.”

Pak Surya menatap anaknya sambil tersenyum haru.

“Jul, nilai tulisan iso wae diganti. Tapi nilai sikap iku luwih penting. Bapak bangga, Le.”

Ibu Rini menambahkan,

“Sing penting kowe wis jujur lan ora males. Gusti Allah mesthi paring berkah kanggo wong sing gelem nyoba.”

Panjul mengangguk dengan mata berbinar.

“Makasih, Pak… Bu… Aku bakal terus nyoba. Tapi sekarang boleh aku senang dulu, kan?”
“Hehehe, ya boleh, Le.”

Malamnya, saat makan bersama, Ibu Rini memberi kabar,

“Jul, liburan semester mung rong minggu, ya. Ora kakehan dolan.”
“Hehehe, dua minggu aja udah kayak dua bulan, Bu!”

Pak Surya menatap Panjul penasaran.

“Kowe arep ngapain liburan iki?”
“Hehe, aku punya rencana besar, Pak! Aku mau belajar naik sepeda tanpa jatuh, bantu Ibu di dapur, sama… latihan jadi pintar!”
“Latihan jadi pintar?”
“Iya, Pak! Aku mau latihan pakai otakku tiap hari. Katanya otak juga butuh olahraga!”

Keluarga kecil itu pun tertawa bersama.
Malam itu, Panjul masuk kamar dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya. Ia menatap rapor di tangannya, lalu meletakkannya di atas meja kecil dekat jendela.

“Hehehe… anda belum beruntung kawan, tapi kali ini… saya merasa sangat beruntung.”

Lalu ia berbaring sambil membayangkan dua minggu liburannya — di kepalanya, sudah ada seribu rencana lucu: memancing di sungai, main bola di sawah, bahkan membuat eksperimen sains di dapur yang bisa bikin ibunya panik.

Namun sebelum semua itu terjadi, Panjul menutup matanya dan berkata pelan,

“Besok, petualangan baru dimulai lagi…”

 (Bersambung ke Episode 11: Liburan Dua Minggu Ala Panjul!)

Scroll to Top