kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.
Menggapai Mimpi — Episode 6: Pemikiran Panjul
Pagi itu suasana di SD Negeri Alas Wetan terasa biasa saja. Udara segar sisa hujan malam masih terasa di halaman sekolah. Anak-anak datang dengan wajah riang, tapi tidak dengan Panjul.
Ia berjalan pelan ke kelas sambil membawa buku tulis yang sudah mulai lecek. Topinya miring sedikit ke kiri, rambut pendeknya menempel karena keringat. Di bahunya tersampir tas lusuh yang warnanya sudah pudar.
“Jul, kok lemes banget? Biasanya kamu yang paling rame,” sapa Danu.
“Hehehe… aku lagi mikir, Nu.”
“Mikir apa?”
“Mikir kenapa otakku kalau disuruh hafalin rumus itu kayak sawah pas kemarau—retak-retak, kering, nggak nyerap apa-apa!”
Danu tertawa pelan, tapi juga kasihan. Ia tahu Panjul memang bukan tipe yang cepat paham pelajaran.
Bel berbunyi. Semua murid masuk dan duduk. Bu Ratri masuk membawa buku matematika yang tebal.
“Anak-anak, hari ini kita belajar tentang keliling dan luas bangun datar, ya.”
Beberapa siswa langsung membuka buku dengan semangat. Tapi Panjul hanya menatap papan tulis seperti sedang melihat peta harta karun tanpa petunjuk.
“Coba Panji, kalau panjang sisi persegi 8 cm, berapa kelilingnya?” tanya Bu Ratri sambil tersenyum.
Panjul menelan ludah. Ia memandang papan, lalu menatap penggaris, lalu menatap Danu.
“Eee… kalau sisinya delapan… berarti… delapan tambah delapan tambah delapan tambah delapan?”
“Iya, terus hasilnya?”
“Hmm… bentar Bu, kalkulatorku rusak.”
Kelas langsung meledak tawa. Bahkan Riko sampai menepuk meja sambil berkata,
“Waduh, Panjul, itu bukan ujian matematika, itu ujian sabar buat Bu Ratri!”
Panjul hanya tertawa sambil menggaruk kepala.
“Hehehe… Aduhh, anda belum beruntung kawan… coba lagi!”
Bu Ratri tersenyum sabar. “Nggak apa-apa, Panji. Coba dengarkan baik-baik ya, nanti Ibu jelaskan lagi.”
Setelah pelajaran selesai, Danu mencoba membantu.
“Jadi gini, Jul. Kalau persegi, semua sisinya sama panjang. Jadi keliling itu empat kali sisi.”
“Empat kali sisi?”
“Iya. Kalau sisinya 8, berarti 4 x 8.”
“Ohhh… jadi 12 ya?”
“Hah? Bukan! 4 x 8 itu 32!”
Panjul melotot.
“Waduh, aku bener-bener kalah sama kalkulator!”
Riko yang kebetulan mendengar langsung nyeletuk,
“Kamu bukan kalah, Jul. Kamu tuh kayak sinyal HP di hutan, nyambungnya lama!”
Tawa pun kembali memenuhi kelas. Tapi kali ini Panjul hanya tersenyum kecil. Entah kenapa dadanya terasa sesak sedikit.
Seminggu kemudian, giliran ulangan tiba. Panjul sudah berusaha belajar semalam, walau sebagian besar waktu habis untuk menguap dan menatap kertas.
Di kelas, semua siswa serius mengerjakan soal. Panjul menatap lembar ulangan seperti menatap langit penuh bintang — indah, tapi tidak tahu maknanya.
“Nomor satu… keliling persegi panjang. Hmm… kalau persegi aja aku bingung, apalagi panjang.”
Ia menulis seadanya. Kadang menebak, kadang menggambar kotak kecil di pinggir kertas seolah sedang membuat catatan penting.
Ketika bel tanda waktu habis berbunyi, Panjul menyerahkan kertasnya dengan senyum khasnya.
“Bu, nilainya nanti jangan kaget ya. Soalnya saya sendiri aja kaget lihat jawabanku.”
Beberapa hari kemudian, Bu Ratri membagikan hasil ulangan. Semua anak terlihat tegang.
“Anak-anak, secara umum nilai kalian cukup baik. Tapi ingat, yang penting bukan hanya nilai, tapi usaha dan kejujuran.”
Ketika nama Panji dipanggil, ia maju dengan langkah pelan. Di kertasnya tertulis angka 45. Nilai paling rendah di kelas.
Riko berbisik pelan, “Wah, Jul, kayaknya nilai kamu ikut diet, deh.”
“Hehehe… iya, tapi tenang, nanti aku gemukin lagi nilainya. Aduuhh… anda belum beruntung kawan!”
Suasana kembali cair karena tawa anak-anak. Tapi dalam hati, Panjul mulai merasa sedih. Ia tahu gurauannya hanya untuk menutupi rasa malu.
Selesai sekolah, Panjul tidak langsung pulang. Ia duduk di halaman belakang sekolah, di bawah pohon jambu yang rimbun. Angin sore meniup pelan rambut pendeknya.
Tiba-tiba suara lembut terdengar.
“Kok belum pulang, Jul?” tanya Bu Ratri yang baru keluar dari ruang guru.
Panjul menunduk.
“Bu… boleh tanya sesuatu?”
“Tentu boleh, Panji.”
“Bu, apa aku ini memang… nggak bisa pintar? Aku udah coba, tapi tetep aja susah. Aku udah belajar, tapi rasanya kayak otakku lagi libur.”
Bu Ratri duduk di sampingnya. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”
Panjul menggigit bibirnya.
“Soalnya aku capek, Bu. Di rumah juga sering dimarahin karena nilainya jelek. Bapak bilang aku kurang niat, Ibu bilang aku kebanyakan bercanda. Tapi aku udah berusaha, Bu…”
Suara Panjul mulai bergetar.
“Aku cuma bisa bikin orang ketawa. Bahkan pas nilainya jelek pun, aku malah diketawain. Jadi aku mikir, apa aku memang cuma cocok buat lucu-lucuan aja?”
Bu Ratri menatap wajah polos itu lama, lalu berkata lembut,
“Panjul… pintar itu bukan cuma soal nilai. Kamu punya hal yang jarang dimiliki orang lain — semangat dan hati yang besar. Orang yang mau berusaha dan tetap tersenyum, itu juga tanda kepintaran.”
Panjul diam sejenak.
“Tapi Bu, kalau aku nggak bisa-bisa juga gimana?”
“Ya kamu terus belajar. Orang yang berhenti belajar, baru itu namanya gagal. Tapi kamu, kamu ini pejuang kecil yang nggak pernah berhenti.”
Panjul menatap tanah, lalu tersenyum lemah.
“Hehehe… kalau gitu aku mau terus belajar, Bu. Walau mungkin hasilnya nanti lambat, yang penting tetap jalan ya, Bu?”
“Betul, Panji. Langkah kecil pun bisa mengubah banyak hal.”
Di rumah, Panjul duduk di meja belajar kecilnya. Buku matematika terbuka, tapi di sampingnya ada buku catatan yang ia isi dengan gambar lucu.
“Aduh, rumusnya masih bikin pusing… tapi nggak apa-apa. Anda belum beruntung, kawan… coba lagi!”
Dari dapur, terdengar suara ibunya:
“Jul, belajar sing tenanan ya, Le!”
“Iyo, Bu!” jawab Panjul dengan logat Jawa yang lembut.
Lalu dari ruang depan, suara ayahnya menyusul:
“Nek wis ora ngerti, takon wong sing ngerti, Le. Sing penting ojo males!”
“Iyo, Pak… aku nyoba kok!”
Panjul menatap keluar jendela. Angin malam berhembus lembut. Di kejauhan, lampu-lampu rumah tetangga berkelap-kelip.
Dalam hatinya ia berkata pelan:
“Mungkin aku belum pintar… tapi aku nggak mau berhenti berusaha. Soalnya, siapa tahu suatu hari nanti, orang akan bilang: ‘itu Panjul, anak yang nggak pernah nyerah.’”
(Bersambung ke Episode 7: Langkah Baru Panjul)
