Menggapai mimpi #2

Menggapai Mimpi #7

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

Menggapai Mimpi — Episode 7: Langkah Baru Panjul

Pagi itu, langit di Desa Alas Wetan cerah sekali. Matahari belum tinggi, tapi sinarnya sudah menyelinap lewat celah dedaunan di halaman sekolah. Suara ayam bersahut-sahutan, bercampur dengan tawa anak-anak yang sedang ganti baju olahraga.

Namun, di antara mereka, ada satu yang tampak paling sibuk sendiri — tentu saja, Panjul.

Ia berdiri di lapangan sambil menarik kaos olahraganya yang sedikit kekecilan. Napasnya sudah ngos-ngosan padahal baru pemanasan.

“Jul, kamu baru pemanasan aja udah kayak habis lomba maraton,” goda Riko, yang seperti biasa tidak pernah kehabisan bahan ledekan.
“Hehehe… itu tandanya aku hemat energi, Ri. Belum mulai aja udah terasa perjuangannya!”
“Wah, hemat energi tapi boros napas, Jul!”

Anak-anak pun tertawa. Bahkan Pak Bima, guru olahraga yang terkenal tegas tapi humoris, ikut tersenyum melihat tingkah Panjul.

“Baik, anak-anak,” kata Pak Bima lantang. “Hari ini kita latihan lari keliling lapangan dan sedikit senam kebugaran!”

Begitu mendengar kata lari, wajah Panjul langsung berubah seperti kucing yang mendengar suara air.

“Pak, kalau saya jalan cepat aja boleh? Soalnya takut nanti lapangannya rusak ketimpa berat badan saya,” ujarnya dengan polos.

Semua tertawa, termasuk Pak Bima.

“Nggak apa-apa, Jul. Tapi yang penting kamu jalan atau lari dengan niat. Olahraga itu bukan soal cepat, tapi soal niat dan ketekunan.”

“Tapi, Pak, saya kok rasanya kayak nggak cocok olahraga ya. Baru pemanasan aja kaki saya udah minta cuti.”
“Hehehe… Jul, olahraga itu nggak ada yang instan seperti mie. Semua butuh proses panjang.”

Panjul melotot pelan.

“Berarti saya harus diseduh dulu ya, Pak?”
“Haha! Ya jangan diseduh juga. Tapi kamu harus rajin latihan, sedikit demi sedikit.”

Sejak hari itu, kata-kata “nggak ada yang instan seperti mie” terus terngiang di kepala Panjul.
Sore hari setelah pulang sekolah, dia duduk di beranda rumah sambil memandang jalan desa yang memanjang ke arah sawah.

“Hmm… kalau aku pengin kuat, ya harus latihan. Tapi mulai dari mana ya?”

Akhirnya, dengan semangat setengah ragu, dia mengenakan sepatu olahraganya dan mulai jogging pelan menuju sawah.
Langkahnya berat, napasnya cepat, tapi senyumnya tetap ada.

“Aduhh… anda belum beruntung kawan… baru juga lima menit udah lelah! Hahaha!”

Petani yang lewat menatapnya sambil tersenyum geli. “Lho, Panjul, olahraga kok sendirian?”

“Lha, biar nyamuk-nyamuk sini juga sehat, Pak!”

Hari pertama, dia hanya kuat berlari sebentar. Hari berikutnya, sedikit lebih jauh. Kadang semangatnya naik, kadang hilang ditelan rasa malas. Tapi Panjul terus mencoba, sedikit demi sedikit.

Suatu pagi, Ibu Rini melihat Panjul keluar rumah lebih pagi dari biasanya.

“Lho, Jul, arep nang endi isih esuk temen?”
“Jogging, Bu!”
“Wah, apik tenan! Tapi ojo kakean gaya, Le, sing penting tekun.”
“Iyo, Bu. Aku lagi nyoba jadi mie rebus, biar nggak instan!”

Ibu Rini hanya menggeleng sambil tertawa. Sementara Pak Surya dari ruang tamu berseru,

“Jul, sing penting ojo mung semangat esuk doang! Nek wis sore ojo turu wae!”

“Iyo, Pak! Tapi nek sore wis capek, aku turu biar bisa semangat maneh!”

Keluarga kecil itu pun tertawa. Suasana rumah Panjul memang selalu hangat, walau sederhana.

Bulan berikutnya, Pak Bima kembali mengadakan pelajaran olahraga lari lagi. Kali ini, lari keliling lapangan tiga putaran.
Anak-anak mulai berlari, dan Panjul ikut di belakang. Tapi kali ini sesuatu berbeda.

Walau tubuhnya masih cepat berkeringat, Panjul bisa menyelesaikan dua putaran penuh tanpa berhenti.

“Wah, Panjul! Sekarang kamu kuat juga ya!” seru Danu.
“Hehehe… aku kan sudah diseduh lama, jadi mie-ku udah matang!”

Tawa pun kembali pecah. Bahkan Riko, yang biasanya jahil, cuma bisa tertegun.

“Wah, jangan-jangan nanti kamu bisa ngalahin aku, Jul.”
“Tenang aja, Ko. Aku larinya lambat, tapi konsisten. Kata Pak Bima, yang penting bukan siapa yang cepat, tapi siapa yang mau jalan terus.”

Pak Bima yang mendengar dari kejauhan tersenyum puas. Ia tahu, kata-katanya telah menumbuhkan sesuatu di hati anak itu.

Sore itu, Panjul duduk di tepi sawah setelah jogging. Nafasnya masih terengah, tapi matanya berbinar melihat garis jarak kecil yang ia tandai di pematang.
Setiap minggu, jarak itu semakin panjang.

“Sedikit demi sedikit ya, Jul…” katanya pelan pada diri sendiri.
“Mungkin nanti nilai sekolahku juga bisa kayak gini. Nggak langsung tinggi, tapi pelan-pelan naik.”

Angin senja bertiup lembut, membawa aroma padi yang mulai menguning. Di kejauhan, matahari turun perlahan, seolah menyapa semangat baru Panjul.

“Aduhh… anda belum beruntung kawan… tapi kali ini, saya nggak mau nyerah!”

 (Bersambung ke Episode 8: Cara Belajar Ala Panjul)

Scroll to Top