Menggapai Mimpi #8

Menggapai Mimpi #9

kepalasekolah.id – Lucu, hangat, dan penuh makna! Ikuti kisah Panjul, si anak desa yang gemuk dan kocak, dalam petualangannya mengubah hidup lewat semangat belajar dan tawa tanpa henti. “Menggapai Mimpi” akan membuatmu tersenyum sekaligus terinspirasi.

Menggapai Mimpi — Episode 9: Kejutan Kecil untuk Panjul

Pagi itu, suasana Sekolah Dasar Negeri Alas Wetan terasa berbeda. Di papan tulis kelas 5A tertulis besar-besar:
“HARI SENIN SAMPAI SABTU PENILAIAN AKHIR SEMESTER SATU!”

Begitu membaca tulisan itu, seluruh murid seketika ribut. Ada yang panik mencari alat tulis, ada yang masih menghafal, dan ada juga yang, tentu saja, sedang duduk santai sambil ngemil singkong goreng — siapa lagi kalau bukan Panjul yang tidak pernah mengingat kapan hari-hari pentingnya di sekolah.

“Jul, kamu nggak belajar? Ini ulangan akhir semester, lho!” bisik Danu cemas.
“Hehehe… belajar, Nu. Cuma aku belajar lewat udara.”
“Lha maksudnya?”
“Ya, aku menghirup semangat belajar orang lain, biar cepat masuk otak!”

Danu menatap Panjul dengan pasrah, sementara Riko, yang duduk di belakang, langsung menimpali,

“Jul, kalau semangatnya nyangkut di hidung gimana?!”

Satu kelas langsung tertawa. Bahkan Bu Ratri, yang baru masuk kelas sambil membawa tumpukan kertas soal, tersenyum kecil melihat kelakuan Panjul yang tak pernah kehilangan bahan bercanda, bahkan di hari ujian.

Begitu lembar soal dibagikan, wajah Panjul langsung serius — atau setidaknya mencoba terlihat serius.
Dia menatap lembaran kertas seperti sedang menatap peta harta karun.

“Hmm… soal pertama gampang… mungkin… atau nggak ya? Aduhh… anda belum beruntung kawan…”

Danu menoleh, berusaha menahan tawa.

“Jul, fokus, Jul.”
“Iya, Nu. Aku lagi mikir keras ini, sampai keringetan.”

Walaupun jawabannya tidak semuanya benar, kali ini Panjul tidak asal menulis. Ia mencoba mengingat catatan-catatan kecil yang ditempel di rumah: di pintu, di meja makan, di depan televisi, bahkan di dekat kandang ayam.

Setiap kali lupa, ia membayangkan tulisannya sendiri: “Perkalian pecahan = pembilang kali pembilang, penyebut kali penyebut.”
Itu ia hafal sambil bergaya seperti pembawa acara televisi.

Seminggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu datang juga.
Bu Ratri berdiri di depan kelas sambil membawa map berwarna biru tebal.

“Baik anak-anak, ini hasil ujian kalian. Ibu senang karena sebagian besar nilai kalian meningkat. Ada juga yang belum terlalu tinggi, tapi menunjukkan usaha besar.”

Panjul menatap dengan jantung berdegup kencang.
Ketika namanya dipanggil, ia maju dengan langkah hati-hati — seperti sedang menuju ruang operasi.

“Ini hasilmu, Panjul. Nilainya memang belum tinggi, tapi Ibu bangga, karena kamu sudah meningkat cukup banyak.”

Panjul menerima kertas nilai itu. Matanya berbinar melihat angka 55 terpampang di pojok kanan atas.
Bagi anak lain mungkin biasa, tapi bagi Panjul, itu seperti memenangkan lomba nasional.

“Lima puluh lima?! Wah! Itu rekor baru dalam hidup saya, Bu! Tahun depan pasti bisa 60!”

Satu kelas langsung tertawa.
Riko berbisik ke Danu, “Kalau Panjul terus naik lima poin per semester, nanti pas lulus bisa 100 juga, Nu.”
Danu hanya tersenyum, “Ya, tapi butuh 4,5 tahun lagi!”

Bu Ratri menepuk pundak Panjul.

“Yang penting bukan seberapa cepat, Jul. Tapi seberapa besar usaha kamu. Ibu senang melihat semangatmu.”

Panjul mengangguk.

“Terima kasih, Bu. Saya juga senang, karena akhirnya saya bisa ngerjain soal tanpa ngelus dada.”

Sore itu, Panjul pulang ke rumah dengan langkah ringan.
Ia menenteng map nilainya seolah membawa trofi juara. Sesampainya di depan rumah, ia langsung berseru,

“Buuuu! Paaak! Lihat ini!”

Ibu Rini yang sedang menyapu teras langsung menghentikan gerakannya.

“Lho, ana opo, Jul? Kok semangat banget?”
“Aku naik nilai, Bu! Sekarang 55!”

Pak Surya yang sedang duduk di kursi bambu langsung melirik sambil terkekeh,

“Lha 55 kok digembor-gembor, Jul?”
“Iyo, Pak! Soale biasane cuma 40!”

Suasana rumah pun pecah oleh tawa.
Ibu Rini tersenyum sambil berkata,

“Yo wis, Le. Sing penting wis ono kemajuan. Sopo sing tekun, mesti ono hasilé.”

Panjul menatap mereka dengan bangga. Walaupun hasilnya belum sempurna, tapi kali ini ia merasa benar-benar berjuang.

Malamnya, suasana rumah Panjul terasa lebih hangat dari biasanya. Dari dapur, tercium aroma harum yang menggoda.

“Wangi opo iki, Bu?”
“Ora usah penasaran, Le. Iki kejutan buatmu.”

Ketika Ibu Rini membawa nampan besar ke meja makan, mata Panjul langsung membelalak.
Seekor ayam bakar utuh terhidang di depannya — masih mengepulkan asap dengan sambal kecap di sampingnya.

“Waaahhh, Bu! Ayam bakar satu ekor?! Buat aku?!”
“Iya, Le. Iki hadiah saking Bapak lan Ibu. Amarga kowe wis nyoba sak tenané. Sanajan durung paling pinter, tapi wis ana kemajuan.”

Panjul hampir tidak percaya. Biasanya, mereka makan ayam kalau Lebaran atau ada tamu.
Ia menatap ayam itu lama-lama, lalu menatap ayah ibunya dengan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih, Bu… Pak… Tapi aku nggak bisa makan sendirian. Ini harus dibagi tiga!”

Ia mengambil piring, memotong ayam itu, dan membagi rata untuk ayah dan ibunya.
Pak Surya tersenyum haru.

“Jul, Bapak ora nyangka kowe iso ngomong ngono. Bapak bangga, Le.”
“Hehehe… aku belajar berbagi dari ayam, Pak.”
“Lho, kok dari ayam?”
“Soalnya ayam itu rela dibakar demi kebahagiaan orang lain. Hahaha!”

Ayah dan ibunya pun tertawa terbahak-bahak.

Setelah makan malam, Panjul berbaring di kasurnya yang sederhana. Lampu kamar temaram, dan suara jangkrik terdengar dari luar.
Ia memandang langit-langit kamar sambil tersenyum kecil.

“Hehehe… kalau nilai 55 aja sudah dikasih ayam bakar satu ekor, gimana nanti kalau 70 ya? Bisa-bisa dikasih kambing panggang!”

Ia tertawa sendiri. Tapi di balik candanya, ada tekad kecil yang tumbuh.
Panjul memejamkan mata dan membayangkan hari pembagian rapor nanti.

Dalam mimpinya, ia melihat Bu Ratri tersenyum sambil berkata,

“Selamat, Panjul! Nilaimu naik lagi!”

Ia juga membayangkan teman-temannya bertepuk tangan, dan ayah ibunya tersenyum bangga di barisan orang tua murid.

“Aduhh… anda belum beruntung kawan… tapi jangan menyerah. Masih ada kesempatan!”

Kalimat khas itu kembali ia bisikkan pelan sebelum tertidur pulas.

(Bersambung ke Episode 10: Rapor untuk Ayah dan Ibu)

Scroll to Top